Angka Pernikahan Anak Masih Tinggi, Ini Mengapa Perjuangan R.A. Kartini Harus Dilanjutkan

Alessandra Langit - Rabu, 21 April 2021
Ilustrasi penolakan
Ilustrasi penolakan iStock

Parapuan.co - R.A. Kartini dikenal sebagai pejuang emansipasi perempuan Indonesia.

Banyak pemikiran mengenai kesetaraan dan hak perempuan yang diutarakan, dituntut, dan diwujudkan oleh R.A. Kartini termasuk mengenai pernikahan di bawah umur.

Melansir dari National GeographicR.A. Kartini sering mengirimkan surat kepada Ny. Abendanon, salah satu sahabat penanya yang tinggal di Belanda.

Diketahui, dalam suratnya untuk Ny. Abendanon pada tanggal 18 Februari 1902, Kartini menitipkan sebuah pertanyaan untuk Snouck Hurgronje, penasihat pemerintahan Hindia Belanda dalam urusan agama Islam.

Baca Juga: Rupanya, Ini Alasan Perayaan Hari Kartini Identik dengan Kebaya.

Kartini bertanya mengenai ukuran kedewasaan perempuan dalam hukum Islam dan pemerintahan untuk dapat menikah

Surat itu ditulis kala usia Kartini sudah cukup matang.

Bagi perempuan Jawa di masa itu, pernikahan adalah sebuah kewajiban yang harus segera dilaksanakan, bahkan di usia belia.

Dalam buku karya Elisabeth Keesing, Betapa Besar Pun Sebuah Sangkar: Hidup, Suratan, dan Karya Kartini (1999), pertanyaan Kartini mengenai usia yang pantas untuk menikah dipantik oleh Piet Sijthoff, seorang residen Jepara.

Baca Juga: Masuk Kedalam Forbes 30 Under 30, Inilah Sosok Maudy Ayunda

Dalam buku Elisabeth dikatakan bahwa ada niat Piet untuk menikahi Kartini.

Menurut pejabat Belanda pada zaman itu, pendidikan yang baik bagi perempuan pribumi adalah dengan menikahi laki-laki Belanda.

Jawaban yang Kartini terima dari Snouck justru sangat mengecewakan.

Menurut Snouck, perempuan Jawa tidak akan pernah dewasa, jika Ia ingin bebas maka harus menikah dulu, setelah itu boleh untuk diceraikan lagi.

Jawaban tersebut tidak sesuai dengan cita-cita dan tujuan Kartini.

Baca Juga: Jarang Diketahui, R.A. Kartini Ternyata Berperan Penting dalam Kesenian Ukir Jepara

Namun, Kartini tidak terpengaruh dengan kata-kata Snouck, dan tetap berpegang teguh dengan prinsipnya.

Kartini pun menikah dengan suaminya, Bupati Rembang, Raden Adipati Djojoningrat, pada usia 24 tahun.

Di zaman itu, usia 24 adalah usia yang sudah terlalu tua untuk menikah.

Kartini tidak peduli dengan aturan sosial yang mengatur hak perempuan untuk menentukan pernikahannya sendiri.

Di era modern ini, perjuangan Kartini mengenai pernikahan anak di bawah umur pun belum selesai.

Baca Juga: Lika-liku Chef Kim Pangestu Mengejar Mimpinya sebagai Pastry Chef

Berdasarkan Laporan Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan, Leny Rosalin, pada tahun 2018, dari total 627 juta penduduk Indonesia, 11.2 persen perempuan menikah di usia 20-24 tahun. 

Sedangkan pernikahan perempuan yang berusia kurang dari usia 17 tahun sebesar 4,8 persen.

Pernikahan anak di bawah usia 16 tahun sekitar 1,8 persen dan persentase pernikahan anak berusia kurang dari 15 tahun sejumlah 0,6 persen. 

Jumlah presentase tersebut menyimpulkan bahwa satu dari sembilan anak perempuan usia kurang dari 18 tahun menikah muda.

Baca Juga: IJF EVAC: Perkawinan Anak adalah Bentuk Kekerasan Terhadap Anak

Hal tersebut menempatkan Indonesia pada peringkat 2 di ASEAN sebagai negara dengan pernikahan anak terbanyak.

Angka yang memprihantinkan tersebut menjadi pengingat bahwa perjuangan Kartini masih belum selesai.

Pemerintah bersama UNICEF telah berupaya untuk mencegah pernikahan anak di bawah umur.

Baca Juga: Kekerasan Berbasis Gender Online Meningkat Selama Pandemi, Ini Dampaknya Bagi Penyintas

Kita, sebagai perempuan modern, harus ikut menuntut agar ada peraturan resmi yang melarang pernikahan anak di bawah umur.

Hal yang dapat kita lakukan salah satunya adalah, mendukung lembaga perlindungan perempuan dalam mendesak pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.

(*)

Sumber: National Geographic,KemenPPA
Penulis:
Editor: Linda Fitria