Bukan Trauma, Ini yang Sebenarnya Dialami Korban Pasca Bencana

Maharani Kusuma Daruwati - Selasa, 13 April 2021
Sejumlah warga berusaha melewati jalan yang tertutup lumpur akibat banjir bandang di Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), Selasa (6/4/2021). Cuaca ekstrem akibat siklon tropis Seroja telah memicu bencana alam di sejumlah wilayah di NTT dan mengakibatkan rusaknya ribuan r
Sejumlah warga berusaha melewati jalan yang tertutup lumpur akibat banjir bandang di Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), Selasa (6/4/2021). Cuaca ekstrem akibat siklon tropis Seroja telah memicu bencana alam di sejumlah wilayah di NTT dan mengakibatkan rusaknya ribuan r (ANTARA FOTO/ADITYA PRADANA PUTRA)

Parapuan.co – Pandemi Covid-19 belum juga usai, Indonesia kini justru tengah dilanda duka.

Belum lama ini beberapa wilayah di Indonesia kembali dilanda bencana alam.

Minggu (4/4/2021) lalu, wilayah timur Indonesia tepatnya di Nusa Tenggara Timur dan sekitarnya mengalami banjir bandang dan tanah longsor.

Musibah ini pun menimbulkan banyak korban jiwa dan korban luka-luka.

Baca Juga: 2.848 Unit Rumah Rusak Akibat Gempa Malang, BNPB Akan Berikan Dana Stimulan

Selain itu, tak berselang lama, Sabtu (10/4/2021), juga terjadi gempa bumi yang melanda Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Guncangan gempa bermagnitudo 6,1 ini bahkan dilaporkan terasa hingga Yogyakarta, Bali, hingga Lombok.

Adanya bencana ini biasanya akan memimbulkan efek traumatis pada para korban atau penyintas.

Banyak orang menyebutnya dengan trauma pasca bencana.

Namun, ternyata kita tak serta merta bisa mengatakan bahwa apa yang dialami para penyintas itu adalah sebuah trauma lo, Kawan Puan.

Menurut penjelasan Iptu Niken Kintaka Sari, M.Psi., salah satu psikolog Biro Psikologi SSDM Polri, mengatakan bahwa trauma itu sendiri membutuhkan waktu selama 6 bulan untuk bisa dipastikan diagnosanya.

Sehingga reaksi yang muncul dari para penyintas saat awal terjadi musibah itu belum bisa disebut trauma.

“Kalau dari panduan diagnosanya itu kurang lebih 6 bulan kita baru bisa menegakkan apakah penyintas (survivor) itu benar-benar mengalami trauma karena musibah yang dialami. Jadi, reaksi yang muncul di awal saat musibah atau reaksi yang muncul di awal saat situasi tanggap darurat itu tidak bisa atau belum bisa dikatakan sebagai trauma,” terang Iptu Niken, saat dihubungi PARAPUAN, Sabtu (10/4/2021).

Baca Juga: Simak, Berikut Langkah Evakuasi Mandiri Saat Terjadi Gempa Bumi

Bahkan tidak setiap penyintas yang benar-benar mengalami trauma, disebabkan oleh bencana yang dialami tersebut. Hal ini karena setiap individu memiliki latar belakang permasalahan yang berbeda beda sebelum menghadapi kondisi bencana.

Kondisi psikologis pada masa bencana ini sendiri bisa dibagi menjadi dua.

  1. Critical Incident Stress yaitu stres yang muncul sebagai reaksi atas peristiwa bencana (perubahan mendadak dan masif).
  2. Stres pasca trauma yaitu kondisi psikologis di mana seseorang reexperiencing peristiwa traumatis. Biasanya dialami oleh sedikit orang dan gejalanya terus menerus muncul menganggu hingga kurun waktu lebih dari 1 bulan.

Jika trauma itu sendiri baru bisa didiagnosa setelah enam bula, lalu apa yang sebenarnya dialami oleh para penyintas atau korban bencana ini?

Niken menjelaskan bahwa apa yang dialami penyintas sesaat setelah bencana ini merupakan reaksi stress dalam masa krisis.

Pasalnya, wajar bula seseorang merasa syok hingga mungkin menangis tanpa henti ketika mendapati kondisi dirinya yang berubah secara drastis.

“Artinya, itu adalah reaksi yang dalam tanda kutip wajar muncul karena kondisi yang tidak normal atau kondisi yang tidak seperti biasanya,” terangnya.

Reaksi yang diberikan pun akan bermacam-macam serta berbeda pada setiap individu.

Ada yang meluapkannya dengan menangis, ada pula yang mengutarakannya lewat teriakan, atau bahkan diam menyendiri dan menghindar dari orang lain.

Tapi ada pula sekelompok orang yang justru menampilkan sisi heroic-nya dengan tampak baik-baik saja dan banyak memberikan bantuan pada korban lain, seperti pada keluarga dan tetangganya.

Baca Juga: Dampak Terikini Gempa Malang, 8 Korban Meninggal dan 25 Luka-luka

Hal ini pun benar terjadi, menurut pengalaman Niken, terdapat fenomena di mana muncul perilaku heroic dari para korban bencana gempa di Yogyakarta pada 2006 silam.

“Jadi banyak sekali orang yang punya semangat menolong orang lain, menolong tetangganya, ya menolong keluarganya sendiri, menolong masyarakat di lingkungan tempat tinggal. Apakah itu bisa kita sebut dengan orang yang kuat atau tidak mengalami stres pada saat masa krisis? Tidak juga. Itu adalah respons awal dia, respons otomatis. Justru buah dari syok atau stress yang dia rasakan,” ucap Niken.

Orang-orang seperti ini adalah yang akan (beresiko) mengalami kelelahan emosi di saat semua orang itu sudah dalam kondisi tenang, sudah bisa menata kembali aktivitasnya dan tahu apa yang mau mereka lakukan setiap harinya.

Orang yang berperilaku heroic ini yang secara spontan memberi pertolongan ini, yang justru sangat rentan mengalami permasalahan psikologis setelah kondisi lingkungannya tenang.

Karena mereka cenderung jarang mendapatkan perhatian.

Untuk itu lah perlu adanya pendampingan psikologis pada korban bencana.

Salah satunya dengan memberikan pertolongan pertama psikologis atau psychological first aid (PFA).

“Penanganan awal itu sama seperti kalau kita mengalami luka fisik, jadi ada P3K-nya dulu. Kita menyebutnya dengan psichological first aid (PFA), pertolongan pertama untuk reaksi psikologisnya,” jelas Niken.

Tujuan dari pemberian PFA ini adalah untuk membuat penyintas mampu beradaptasi dengan perubahan drastis yang terjadi.

Baca Juga: Tragis, Pasutri Tewas Terjepit Batu Raksasa Akibat Gempa Di Malang

“Dengan membuat mereka lebih mampu untuk beradaptasi, membuat mereka lebih menyadari kondisi yang dialami saat ini, akan mendorong mereka untuk memiliki kondisi psikologis yang lebih baik. Sehingga bisa meminimalisir munculnya trauma,” tambahnya.

Pschological first aid ini bisa dilakukan tidak hanya oleh psikolog, tapi juga bisa dilakukan oleh relawan, tenaga medis, bahkan oleh awak media masa juga.

Tentunya semua orang yang hendak melakukannya sudah dibekali dengan pelatihan terlebih dahulu untuk memberikan PFA ini.

Hal ini dilakukan supaya juga meminimalisir dampaknya untuk orang-orang yang juga berkontak dengan penyintas. (*)