Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Parapuan.co - Pemerintah menetapkan bahwa setiap tanggal 23 Juli adalah Hari Anak. Tema yang diusung untuk tahun ini adalah “Anak Hebat, Indonesia Kuat Menuju Indonesia Emas 2045” dengan tagline “Anak Indonesia Bersaudara.”
Saya menjadi teringat hampir 8 tahun yang lalu, ketika saya konsultasi ke seorang psikoterapis terbaik di negeri ini, Opa Dono Baswardono. Ketika konsultasi selesai, Opa Dono berpesan, “Ibu perlu berbahagia dulu, maka Ibu dapat mengasuh anak Ibu dengan baik.” Pesan yang membuat saya berkaca-kaca, sembari meninggalkan ruang konsultasi.
Pesan di 8 tahun lalu, yang saya selalu ingat dan simpan di dalam hati. Juga, menimbulkan berbagai pertanyaan di benak saya. Ibu perlu menjadi bahagia. Bahagia yang seperti apa? Apa maksud dari pesan tersebut? Proses cukup panjang saya jalani, hingga saya mampu memahami maksud dari pesan tersebut.
Seorang Ibu, terutama di negara dengan budaya Timur dan patriarki yang masih kuat, sering ditempatkan sebagai orang kesekian di dalam keluarga. Ketika belum memiliki anak, maka istri perlu mendahulukan suami. Saat sudah hadir anak, buah hati di dalam keluarga, maka perhatian tercurah pada anak tersebut. Ibu selalu mendahulukan kepentingan anggota keluarga. Bahkan, Ibu berusaha mengorbankan dirinya, hanya untuk melihat anggota keluarganya bahagia.
Doktrin, nilai, keyakinan begitu tertanam kuat pada diri Ibu, bahwa ia harus mendahulukan kebutuhan anggota keluarganya dan kebutuhan dirinya adalah prioritas terakhir. Tertanam kuat, karena ajaran-ajaran itu sudah mulai diberikan saat Ibu masih menjadi anak perempuan, gadis remaja dan perempuan dewasa. Hingga akhirnya, saat perempuan dewasa ini menjadi Ibu, tombol aktivasi atas ajaran-ajaran itu seperti menyala dalam dirinya. Satu-satunya hal yang dapat melemahkan nyala itu adalah saat Ibu lelah, saat Ibu perlu istirahat. Meski, dalam situasi seperti inipun, Ibu pasti tetap berusaha menjalankan perannya.
Apa yang dilakukan Ibu, seperti sudah menunjukkan definisi kebahagiaan itu sendiri. Ibu bahagia saat anggota keluarga, terutama anak bahagia, gembira. Namun, apakah kebahagiaan yang Ibu rasakan itu adalah kebahagiaan yang sejati?
Para Ibu yang membaca tulisan ini, tak perlu langsung menjawab. Ambillah hening bersama diri, untuk menemukan jawaban jujur. Heningpun, perlu dilakukan berkali agar jawaban murni, hadir.
Mungkin Ibupun akan sulit saat diminta untuk mengartikan bahagia untuk dirinya sendiri. Apa arti bahagia menurut Ibu? Jikapun dijawab, maka kemungkinan besar bahagianya tetap direlasikan dengan anggota keluarga, bukan pada dirinya sendiri. Adalah hal yang wajar, karena Ibu secara tak sadar sudah melupakan arti bahagia untuk dirinya sendiri. Bukankah begitu, Ibu?
Baca Juga: Kimberly Ryder Ungkap Pentingnya Self-Care dan Support System untuk Kebahagiaan Ibu