Parapuan.co - Dalam beberapa tahun terakhir, teknologi kecerdasan buatan atau AI semakin merambah ke ranah kesehatan mental. Salah satu bentuknya adalah chatbot AI yang dirancang untuk mendengarkan keluh kesah pengguna, memberikan saran, dan membantu mengelola emosi.
Di tengah meningkatnya angka gangguan kecemasan dan depresi, terutama di kalangan perempuan, chatbot AI hadir sebagai solusi praktis yang menawarkan kecepatan, kerahasiaan, dan kenyamanan. Namun, apakah ini benar-benar aman dan efektif?
Data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2023 menunjukkan bahwa perempuan dua kali lebih berisiko mengalami depresi dibanding laki-laki. Di Indonesia, laporan Riskesdas tahun 2018 mencatat bahwa gangguan mental emosional lebih banyak dialami oleh perempuan.
Beban ganda sebagai pekerja dan pengurus rumah tangga, kekerasan dalam rumah tangga, stigma sosial, dan tekanan penampilan fisik adalah sebagian dari pemicu krisis kesehatan mental yang dihadapi perempuan. Namun, akses untuk mencari bantuan profesional masih terbatas, baik karena biaya, stigma, atau kurangnya layanan di daerah terpencil.
Chatbot AI adalah program berbasis teks atau suara yang menggunakan kecerdasan buatan untuk merespons interaksi pengguna secara real-time. Beberapa chatbot seperti Wysa, Woebot, dan Character.ai dirancang khusus untuk membantu pengguna dalam mengelola stres, kecemasan, dan perasaan negatif lainnya.
Program AI tersebut menggunakan pendekatan seperti cognitive behavioral therapy (CBT), meditasi terpandu, hingga journaling digital. Karena tersedia 24/7 dan bersifat anonim, chatbot ini menarik minat banyak perempuan, terutama dari generasi milenial dan Gen Z.
Mengutip bbc.com, seorang perempuan muda di Inggris, mengaku bahwa chatbot Character.ai membantunya melewati masa-masa kelam saat menghadapi gangguan kecemasan dan rasa rendah diri. Ia berbicara dengan chatbot selama berjam-jam setiap hari, dan merasa didengarkan tanpa dihakimi.
Di Indonesia, fenomena ini juga mulai berkembang. Melansir dari Kompas.com, beberapa pengguna perempuan merasakan manfaat dari curhat kepada chatbot, terutama dalam kondisi stres ringan atau kesepian. Mereka menganggap chatbot sebagai alternatif sementara saat belum siap atau belum mampu mengakses psikolog.
Meski menjanjikan, chatbot AI bukan tanpa risiko. Karakteristiknya yang bukan manusia membuatnya tidak mampu membaca konteks emosional yang kompleks. Chatbot ternyata dapat memberikan saran yang membahayakan atau memperkuat perasaan negatif pengguna.
Baca Juga: 5 Pekerjaan Kelas Menengah Ini Terancam Punah di 2030 Akibat Adanya AI
Masih mengutip bbc.com, Profesor Hamed Haddadi dari Imperial College London memperingatkan bahwa chatbot AI tidak boleh menjadi pengganti terapi dengan manusia. Dikarenakan belum ada sistem validasi emosi dan konteks yang akurat dalam teknologi saat ini. Chatbot bisa gagal mengenali tanda-tanda bahaya, seperti niat bunuh diri atau trauma yang memerlukan pendekatan kompleks.
Selain itu, perempuan merupakan kelompok yang lebih rentan terhadap eksploitasi digital, termasuk pencurian data emosional, doxing, dan manipulasi online. Ketika informasi sensitif tentang trauma atau pengalaman kekerasan tersimpan dalam chatbot, maka keamanan data menjadi isu yang sangat penting.
Meskipun chatbot AI bisa menjadi alat bantu yang berguna, Kawan Puan perlu menggunakannya dengan bijak dan sadar risiko. Merangkum dari bbc.com, berikut beberapa tips yang dapat membantu Kawan Puan dalam menggunakan chatbot AI.
- Kenali tujuan penggunaan: Gunakan chatbot sebagai alat bantu untuk meringankan stres ringan atau refleksi diri, bukan untuk menggantikan terapi profesional, terutama saat menghadapi masalah berat seperti trauma atau pikiran bunuh diri.
- Pilih aplikasi terpercaya: Utamakan chatbot yang dikembangkan oleh tim profesional atau institusi kesehatan mental terpercaya. Periksa ulasan pengguna, afiliasi pengembang, serta apakah ada pengawasan psikologis dalam pengembangannya.
- Baca kebijakan privasi: Jangan abaikan bagian ini. Pastikan aplikasi tidak menjual atau menyalahgunakan data pribadi dan emosi yang kamu bagikan. Cari chatbot yang menyatakan secara jelas bahwa data kamu aman dan terenkripsi.
- Batasi keterikatan emosional: Ingat bahwa chatbot bukan manusia. Jangan sampai merasa tergantung secara emosional pada chatbot, apalagi jika mulai mengabaikan hubungan nyata dengan teman atau keluarga.
- Perhatikan sinyal bahaya: Jika chatbot memberikan saran yang terdengar membahayakan, menghakimi, atau memperkuat rasa putus asa, segera hentikan penggunaan dan laporkan jika perlu.
Baca Juga: Bersih-Bersih Rumah Bermanfaat untuk Kesehatan Mental, Mengapa?
- Jangan gunakan saat krisis: Dalam kondisi darurat atau krisis mental, seperti keinginan menyakiti diri atau orang lain, jangan andalkan chatbot. Hubungi layanan bantuan profesional.
- Manfaatkan fitur journaling atau CBT ringan: Gunakan fitur-fitur positif dari chatbot, seperti latihan pernapasan, refleksi harian, atau teknik kognitif sederhana yang bisa membantu menjaga kestabilan emosi.
- Libatkan komunitas: Cari tahu apakah chatbot memiliki fitur komunitas atau rujukan ke psikolog, agar kamu tidak merasa sendirian dan tetap terhubung dengan dukungan manusia.
(*)
Celine Night