Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Parapuan.co - Dalam tulisannya “Woman Uses ChatGPT for Therapy After Humans Failed Her”, Imogen Howse, 2025, menceritakan upaya Kat Woods mengatasi gangguan mental yang dialaminya. Gangguan mental perempuan berumur 35 tahun ini, berupa stres, konflik dalam hubungan, juga hilangnya motivasi dalam karier. Atas gangguan itu, Woods telah berusaha menemukan pertolongan dari lebih 10 konselor. Sayangnya, tak ada pemecahan masalah yang dirasakannya.
Keadaan jadi berubah, saat Woods berbicara dengan ChatGPT dan memperlakukannya sebagai konselor. Dirasakan ada keadaan emosional yang membaik. Perangkat berbasis artificial intelligence (AI) itu, telah membaca setiap buku konseling. Informasi tentang berbagai gangguan mental telah diserap dan diolah machine learning-nya.
Timbunan informasinya, diubah jadi kecerdasan, yang diperlukan untuk konseling jenis apa pun. Juga menyusun rekomendasi pemecahan gangguan kesehatan mental. Namun Woods tak menyarankan penggunaan ChatGPT, untuk masalah psikologis berat. Testimoninya, hanya untuk penggunaan sebatas kecemasan dan depresi ringan.
Demikian halnya yang dialami Kelly. Selama berbulan-bulan, perempuan ini --dengan durasi tiga jam perhari-- berbicara dengan chatbot berbasis AI. Juga dilangsungkan pertukaran ratusan pesan. Ini layaknya interaksi dengan teman terbaik, namun khayalan. Dalam deskripsinya, setiap kali Kelly merasa kesulitan, mendapati hari yang buruk, dimulailah obrolan intensifnya dengan chatbot. Yang diperoleh setelahnya: muncul semangat sepanjang hari, seakan dari tim pemandu sorak yang terus mengiringinya. Itu dirasakan sebagai dorongan eksternal.
Kelly mulai berinteraksi dengan Character.ai, saat dirinya ada dalam masa tunggu layanan konseling dari National Health Service (NHS). Layanan yang diajukan untuk memperoleh rekomendasi atas gangguan kecemasan, rendahnya harga diri, dan putus hubungan yang dialamiya. Cerita ini, ditulis Eleanor Lawrie, 2025, dalam “Can AI Therapists Really be an Alternative to Human Help?
Dalam realitas hari ini, makin banyak orang di dunia yang menggunakan chatbot berbasis AI, sebagai konselor gangguan kesehatan mental. Setidaknya jadi teman berbagi resah. Dalam “An Overview of Chatbot-Based Mobile Mental Health Apps: Insights from App Description and User Reviews”, M.D. Romael Haque dan Sabirat Rubya, 2023, dengan menggunakan hasil survey nasional yang dilakukan di Amerika tahun 2021, menemukan: 22% orang dewasa telah menggunakan chatbot konseling. Sedangkan 47% lainnya, menyatakan tertarik menggunakannya saat memerlukan.
Di antara responden yang telah mencoba chatbot berbasis AI itu, hampir 60%-nya mulai menggunakan selama pandemi COVID-19. Sedangkan 44% lainnya, menggunakan chatbot sebagai satu-satunya penolong dan tak menemui konselor manusia. Saat penelitian dilakukan, setidaknya terdapat 9 aplikasi chatbot yang beredar di pasaran, dengan tak kurang dari 500.000 unduhan.
Kedua peneliti di atas, juga mengungkap: beralihnya penyandang kesehatan mental ke penggunaan chatbot konseling --alih-alih konselor manusia-- akibat kemudahan akses pada perangkat. Ketersediaannya berlimpah, dari berbagai pengembang perangkat. Selain itu, rasa nyaman yang segera diperoleh menyebabkan penggunanya terikat dan lebih memilih AI dibanding teman maupun keluarga sebagai konselor. Ketersediannya yang tanpa jeda: 24/7, memberi peluang penangan krisis kapan pun dibutuhkan.
Baca Juga: Seberapa Penting Cek Kesehatan Mental Sebelum Menikah untuk Calon Pengantin?