Parapuan.co - Ketika seorang anak tiba-tiba menarik diri, sulit diajak bicara, atau suasana hatinya berubah drastis dalam waktu singkat, banyak orang tua yang masih bingung menghadapinya. Apakah itu hanya fase perkembangan atau tanda dari masalah yang lebih serius.
Dalam banyak kasus, gangguan kesehatan mental seperti Gangguan Bipolar (GB) dan Skizofrenia bisa saja menjadi akar dari perubahan perilaku ini. Di Indonesia, kesadaran terhadap gangguan kesehatan mental pada anak dan remaja masih sangat rendah.
Gangguan Bipolar dan Skizofrenia sering kali baru terdeteksi ketika gejalanya sudah berat, atau ketika anak mengalami krisis yang tidak bisa lagi diabaikan. GB dan Skizofrenia adalah dua kondisi mental yang berbeda, namun sama-sama serius.
Gangguan Bipolar ditandai dengan perubahan mood ekstrem antara depresi dan mania. Sedangkan Skizofrenia lebih berkaitan dengan gangguan persepsi realitas seperti halusinasi, delusi, dan disorganisasi pikiran atau bicara. Pada anak dan remaja, gejalanya bisa samar dan sering kali disalahartikan sebagai kenakalan atau fase pubertas.
Menurut Prof. Dr. dr. Tjhin Wiguna, SpKJ(K), Subsp A.R. (K), MIMH, Guru Besar Psikiatri Anak dan Remaja FKUI-RSCM, tantangan kesehatan mental seperti GB dan Skizofrenia kini juga memengaruhi anak dan remaja dengan tingkat yang mengkhawatirkan.
"Banyak kasus muncul di usia dini dan tidak terdiagnosis karena kurangnya kesadaran atau salah mengartikan gejala," ujarnya.
Beberapa hambatan utama dalam penanganan adalah kurangnya literasi kesehatan mental, stigma negatif, keterbatasan akses ke layanan psikologis dan psikiatris anak, serta ketakutan keluarga akan efek samping pengobatan. Padahal, pengobatan dan terapi yang tepat bisa memperbaiki fungsi sosial, pendidikan, dan kualitas hidup anak.
Prof. Tjhin menekankan pentingnya kepatuhan berobat dalam proses pemulihan. “Kepatuhan terhadap pengobatan jangka panjang sangat berdampak terhadap prognosis pasien. Anak yang patuh cenderung mengalami remisi, mampu melanjutkan pendidikan, dan berfungsi normal di masyarakat,” jelasnya.
Namun di Indonesia, kepatuhan ini sulit dijaga karena berbagai faktor seperti stigma, ketakutan terhadap obat, hingga kurangnya pemahaman dari keluarga. “Tata laksana yang optimal masih menjadi tantangan besar. Tanpa dukungan keluarga, anak tidak akan mampu menjalani pengobatan dengan konsisten,” tambah Prof. Tjhin.
Baca Juga: Pentingnya Penerapan Mindful Parenting untuk Kesehatan Mental Anak