Parapuan.co - Penyakit HIV/AIDS masih menjadi isu yang kurang dibicarakan secara terbuka, terutama di kalangan perempuan. Padahal, pengetahuan awal yang tepat sangat penting untuk mencegah dan menangani penyakit ini secara dini.
Di tengah berbagai ketimpangan sosial dan budaya, perempuan tetap menjadi kelompok yang paling terdampak, sekaligus paling terpinggirkan dalam isu ini.
Melansir dari Kompas.com, Papua Tengah sedang menghadapi krisis kesehatan yang kian mengkhawatirkan. Jumlah kasus HIV/AIDS terus meningkat, daerah ini menjadi salah satu wilayah dengan prevalensi tertinggi di Indonesia.
Tercatat hingga awal 2025, terdapat 22.868 kasus HIV/AIDS, dan yang mengejutkan, sebagian besar penderitanya adalah perempuan.
Di balik angka-angka ini, tersembunyi kisah pilu dan perjuangan perempuan Papua yang terinfeksi, bukan karena perilaku berisiko mereka, melainkan akibat ketimpangan dan minimnya akses informasi, serta layanan kesehatan.
Sebagai informasi, penyakit HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh, terutama sel CD4. Jika tidak ditangani, HIV akan berkembang menjadi AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome).
Penyakit AID sendiri merupakan tahap paling lanjut dari infeksi HIV yang menyebabkan rusaknya sistem kekebalan tubuh secara parah. Seseorang dengan AIDS rentan terkena infeksi dan penyakit serius yang bisa berakibat fatal.
Mengutip dari Kemenkes, penyebab utama HIV adalah hubungan seksual tanpa kondom dengan orang terinfeksi, penggunaan jarum suntik bersama, transfusi darah yang terkontaminasi, dan penularan dari ibu ke anak saat kehamilan, persalinan, atau menyusui.
Dalam konteks Papua Tengah, banyak perempuan tertular karena pasangan mereka memiliki perilaku seksual berisiko, namun perempuan tidak memiliki daya untuk menolak atau melindungi diri.
Baca Juga: Tingkatkan Kesadaran Risiko HIV/AIDS, Ini Pentingnya Lakukan Edukasi Seks ke Kampus
Budaya patriarki yang kuat memperburuk situasi ini. Banyak perempuan yang tidak bisa meminta pasangan menggunakan kondom, atau tidak berani bertanya tentang status kesehatan seksual pasangan mereka.
Perempuan sering kali menjadi korban diam dalam sistem yang tidak berpihak. Dalam banyak kasus, mereka baru mengetahui status HIV ketika menjalani tes kehamilan atau saat penyakit mulai menunjukkan gejala parah.
Dampak dari HIV/AIDS tidak hanya terasa pada individu, tapi juga pada anak-anak dan keluarga. Penularan HIV dari ibu ke anak menjadi isu yang sangat krusial.
Minimnya akses perempuan terhadap layanan kesehatan, termasuk skrining HIV selama kehamilan, menyebabkan banyak bayi lahir dalam kondisi positif HIV. Ini bukan hanya krisis kesehatan, tapi juga krisis kemanusiaan.
Sayangnya, stigma dan diskriminasi masih sangat tinggi. Banyak perempuan dengan HIV mengalami pengucilan, kehilangan pekerjaan, hingga kekerasan dalam rumah tangga.
Ketakutan akan penghakiman sosial membuat banyak perempuan enggan untuk melakukan tes HIV, atau menunda pengobatan dengan antiretroviral (ARV) yang sebenarnya bisa memperpanjang dan memperbaiki kualitas hidup mereka.
Situasi di Papua Tengah mencerminkan tantangan yang lebih luas secara nasional. Berdasarkan data Kementrian Kesehatan RI pada tahun 2019, perempuan mencatatkan 35,5 persen dari total kasus HIV di Indonesia.
Sementara pada tahun 2021, dari 27 ribu kasus baru yang tercatat, sekitar 40 persen dialami oleh perempuan. Di tahun 2023, data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa ibu rumah tangga kembali menjadi kelompok dengan pertambahan kasus tertinggi, sekitar 5.100 kasus baru per tahun.
Baca Juga: Apabila Perempuan Positif HIV Hamil, Apakah Anaknya Tertular?
Ini adalah sinyal kuat bahwa penanggulangan HIV harus berorientasi pada kebutuhan dan perlindungan perempuan. Layanan kesehatan pun perlu direformasi agar lebih inklusif dan sensitif gender.