Dulu, memiliki uang Rp1 juta sudah cukup untuk membuat seseorang dianggap kaya. Sekarang, semua angka itu terdengar lucu. Makan di luar bersama keluarga saja bisa menghabiskan ratusan ribu hingga Rp1 jutaan.
Naiknya harga bahan pokok, biaya pendidikan, layanan kesehatan, hingga transportasi, membuat hidup terasa lebih berat dari sebelumnya. Tak heran jika banyak orang merasa seperti nillionaire—berpenghasilan, tapi tetap miskin.
Meski begitu, tidak semua harga naik secara merata. Namun secara umum, biaya hidup benar-benar telah mencapai atap, dan inflasi hanyalah salah satu penyebabnya.
Pakar ekonomi memperkirakan bahwa nilai Rp10 juta hari ini akan menyusut menjadi hanya sekitar Rp3 jutaan dalam lima belas tahun ke depan. Jumlah nol dalam nominal uang tidak lagi menjamin kekayaan.
Sayangnya, meski nominal gaji naik, nilai riil dari pendapatan justru menurun. Efek pandemi dan krisis ekonomi turut memperburuk situasi. Di India, mungkin di banyak negara lain, kondisi serupa juga terjadi.
Sampai-sampai ada lelucon yang mengatakan, "Cara tercepat menggandakan uangmu adalah dengan melipatnya dua dan memasukkannya kembali ke dompet." Lelucon itu mungkin pahit, tapi tak jauh dari kenyataan yang kita alami hari ini.
Pajak juga menjadi beban tersendiri bagi masyarakat berpenghasilan tetap. Ketika kita menghasilkan uang, kita dikenai pajak; ketika menabung, tetap dikenai pajak; bahkan ketika membelanjakan uang pun, kita masih harus membayar pajak.
Dalam kondisi seperti ini, banyak orang bertanya: apakah uang begitu penting? Jawabannya jelas: ya, karena tanpanya, sulit bertahan hidup—meskipun nilainya terus merosot.
Nillionaire adalah simbol dari generasi yang lelah, yang hidupnya terjepit antara kenaikan harga dan stagnasi pendapatan. Mereka bukan malas, bukan boros—mereka hanya hidup di zaman yang lebih mahal dari sebelumnya.
Baca Juga: 5 Cara Mengatasi Tantangan Keuangan Perempuan Demi Wujudkan Financial Freedom
(*)