Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Perempuan emosional dalam mengambil keputusan, laki-laki rasional.
Baca Juga: Berbagai Langkah Tingkatkan Kesetaraan Gender di Dunia Kerja dari B20 WiBAC untuk G20
Perempuan harus mengajukan cuti menstruasi setiap bulan, laki-laki dapat bekerja sapanjang tahun.
Perempuan absen lama dari pekerjaan manakala melahirkan, karenanya laki-laki yang membiayainya.
Itu semua tanpa dengan gangguan perempuan di ranah publik.
Perbedaan kinerja perempuan, dianggap mengganggu stabilitas kerja. Bahkan dapat mengacaukan perencanaan yang telah disusun.
Karenanya hak gaji perempuan lebih rendah, untuk pekerjaan yang sama dengan laki-laki.
Demikian pula ketika sekelompok perempuan berkumpul dengan sesamanya, laki-laki akan mengenakan operasi bahasa pada aktivitas itu, sebagai “ngerumpi”, “ngegosip”, “kumpul-kumpul enggak jelas”.
Perempuan seakan hanya bisa melakukan kegiatan tak penting.
Sebaliknya manakala laki-laki berkumpul dengan laki-laki lain, mereka menyebutnya sebagai “melangsungkan perencanaan strategis”, “meeting", dan hal-hal heroik lainnya bagi pekerjaan.
Tak berhenti sampai di situ, pada fasilitas-fasilitas umum adanya perempuan yang menggunakan transportasi untuk menuju tempat kerjanya, tak jarang mengalami pelecehan seksual, diskriminasi, bahkan menerima julukan-julukan tak mengenakkan.
Baca Juga: Jadi Kepala Rumah Tangga, Nani Zulminarni Lawan Stigma Buruk Janda
Ketika para perempuan pulang malam dari tempat kerja, akan mengalami operasi bahasa, dijuluki sebagai “bukan perempuan baik-baik”.
Mungkin Kawan Puan juga pernah mengalaminya.
Seluruh modus bahasa itu pada akhirnya berujung pada pembisuan kelompok perempuan.
Perempuan dengan kapasitas pikiran dan perasaan yang secara alami tak beda dari laki-laki, disudutkan lewat bahasa.
Tujuannya, pertama, agar perempuan tidak nyaman di ranah publik, karenanya dengan sukarela kembali ke ranah domestik.
Kedua, agar perempuan tak percaya diri dengan kemampuan yang dimilikinya. Mereka mengekspresikan pikiran dan perasaannya melalui bahasa yang telah dipilihkan laki-laki.
Perempuan menekan ekspresi pengalamannya, lantaran tak punya bahasa yang tepat.
Ini mengantar perempuan, jadi manusia yang tersubordinat. Tak percaya kalau dirinya setara laki-laki.
Perempuan menyerah jadi objek bahasa, termasuk kebutuhannya dalam pemberdayaan.
Keadaan sempat membaik. Hari ini ketika media digital jadi kenyataan dunia, perempuan punya perangkat untuk mewujudkan keutuhan dirinya.
Manuel Castells, 2000, dalam “The Rise of The Network Society”, menyebut sebagai bangkitnya jejaring perempuan atas dominasi laki-laki.
Ini terwujud, manakala perempuan unjuk kemampuannya dengan memanfaatkan perangkat digital.
Mereka bahkan melakukannya dengan tak perlu meninggalkan rumah. Menjadi penulis, peneliti, editor, pedagang komoditas. Semua dapat dilakukan di rumah.
Lalu, berakhirkah operasi bahasa menyudutkan perempuan sebagai manusia yang setara dengan laki-laki?
Tidak. Justru makin marak.
Pembisuan lewat operasi bahasa justru makin intensif terjadi di media-media digital.
Frekuensi perempuan yang mengalami pelecehan seksual, kekerasan verbal maupun perundungan, justru meningkat di media digital.
Saatnya menyerah? Tidak.
Justru Kawan Puan harus membuktikan, pemberdayaan tak pernah dicapai lewat kekuatan luar. Perempuan harus memberdayakan dirinya sendiri.
Menunggu keadaan di luar menjadi baik? Tak akan pernah. Perempuan harus menciptakan keadaan baik bagi dirinya sendiri. (*)