Parapuan.co - Kawan Puan, dalam enam bulan pertama 2025, partisipasi angkatan kerja dari kelompok ibu dengan anak di bawah 5 tahun di Amerika Serikat menurun dari hampir 70% menjadi 67%. Angka ini menjadi yang terendah dalam lebih dari tiga tahun terakhir.
Fenomena tersebut menandakan tantangan besar yang kembali dihadapi perempuan, terutama para ibu muda, di tengah kebijakan perusahaan yang semakin ketat terkait kehadiran fisik di kantor. Simak informasi lengkapnya yang dirangkum dari The Bump berikut ini, yuk!
Kemunduran Setelah Kemajuan
Selama berabad-abad, perempuan bekerja tanpa bayaran di rumah—mengasuh anak, mengurus rumah tangga, dan menjalankan berbagai peran. Baru dalam beberapa tahun terakhir, banyak yang bisa menyeimbangkan peran domestik dengan karier, terutama setelah pandemi yang memicu ledakan pekerjaan jarak jauh.
Fleksibilitas tersebut memungkinkan banyak ibu kembali ke dunia kerja, bahkan dengan laju lebih cepat dibandingkan laki-laki. Namun, tren positif itu kini tergerus. Data terbaru menunjukkan bukan hanya ibu dengan anak kecil yang mundur dari dunia kerja, tetapi perempuan secara keseluruhan juga mengalami penurunan.
Sejak Januari 2025, lebih dari 212.000 perempuan usia di atas 20 tahun berhenti bekerja atau bahkan tidak lagi mencari pekerjaan. Penurunan paling tajam terlihat pada perempuan kulit hitam serta kelompok usia 25–34 tahun. Ironisnya, hal ini terjadi ketika tingkat pengangguran AS relatif stabil di angka 4,2%, sehingga memperlihatkan bahwa perempuanlah yang paling terdampak.
Mengapa Ibu Bekerja Paling Tertekan?
Ada beberapa faktor yang menjadi beban besar bagi para ibu berdasarkan survei yang sama, yaitu:
1. Kebijakan kembali ke kantor (return-to-office)
Baca Juga: Wina Natalia Ungkap Pentingnya Perempuan Bekerja Walau Terima Nafkah: Agar Punya Value
Tingkat kehadiran kantor di AS pada Juli 2025 naik lebih dari 10% dibandingkan tahun sebelumnya, tertinggi sejak pandemi. Pada saat yang sama, peluang kerja jarak jauh merosot drastis. Kini, hanya 7% perusahaan yang masih memperbolehkan kerja penuh jarak jauh, jauh menurun dari 21% pada 2024.
2. Biaya childcare yang sangat tinggi
Rata-rata biaya penitipan anak kini melampaui Rp212 juta per tahun per anak (setara USD 13.000), sebanding dengan biaya kuliah di banyak negara bagian. Untuk keluarga dengan lebih dari satu anak, ditambah ongkos transportasi akibat kembali ke kantor, beban finansial ini membuat banyak ibu memilih mundur dari dunia kerja.
3. Minimnya dukungan sistemik
Menurut Kate Bahn, kepala ekonom di Institute for Women’s Policy Research, "Amerika Serikat adalah satu-satunya ekonomi maju yang mengalami penurunan partisipasi angkatan kerja perempuan dalam 20 tahun terakhir, dan banyak penyebabnya adalah kurangnya jaminan sosial serta dukungan pengasuhan."
Tantangan yang Semakin Kompleks
Di luar faktor ekonomi, muncul pula tren budaya yang turut memengaruhi, seperti gerakan daring yang mendorong perempuan kembali menjadi ibu rumah tangga penuh waktu. Walaupun pilihan tersebut sah bagi sebagian keluarga, kenyataannya banyak perempuan yang ingin atau perlu tetap bekerja justru menghadapi hambatan yang semakin berat.
Turunnya angka partisipasi ibu bekerja bukan sekadar masalah pribadi, melainkan persoalan struktural. Kombinasi kebijakan perusahaan, biaya childcare yang mahal, serta lemahnya dukungan negara membuat perempuan kembali berada di posisi sulit.
Jika tidak ada perubahan sistemik, tren ini bisa semakin memperburuk kesenjangan gender di dunia kerja.
Baca Juga: Meritokrasi: Peluang atau Hambatan bagi Perempuan Karier di Dunia Kerja?
(*)