Tingkat kehadiran kantor di AS pada Juli 2025 naik lebih dari 10% dibandingkan tahun sebelumnya, tertinggi sejak pandemi. Pada saat yang sama, peluang kerja jarak jauh merosot drastis. Kini, hanya 7% perusahaan yang masih memperbolehkan kerja penuh jarak jauh, jauh menurun dari 21% pada 2024.
2. Biaya childcare yang sangat tinggi
Rata-rata biaya penitipan anak kini melampaui Rp212 juta per tahun per anak (setara USD 13.000), sebanding dengan biaya kuliah di banyak negara bagian. Untuk keluarga dengan lebih dari satu anak, ditambah ongkos transportasi akibat kembali ke kantor, beban finansial ini membuat banyak ibu memilih mundur dari dunia kerja.
3. Minimnya dukungan sistemik
Menurut Kate Bahn, kepala ekonom di Institute for Women’s Policy Research, "Amerika Serikat adalah satu-satunya ekonomi maju yang mengalami penurunan partisipasi angkatan kerja perempuan dalam 20 tahun terakhir, dan banyak penyebabnya adalah kurangnya jaminan sosial serta dukungan pengasuhan."
Tantangan yang Semakin Kompleks
Di luar faktor ekonomi, muncul pula tren budaya yang turut memengaruhi, seperti gerakan daring yang mendorong perempuan kembali menjadi ibu rumah tangga penuh waktu. Walaupun pilihan tersebut sah bagi sebagian keluarga, kenyataannya banyak perempuan yang ingin atau perlu tetap bekerja justru menghadapi hambatan yang semakin berat.
Turunnya angka partisipasi ibu bekerja bukan sekadar masalah pribadi, melainkan persoalan struktural. Kombinasi kebijakan perusahaan, biaya childcare yang mahal, serta lemahnya dukungan negara membuat perempuan kembali berada di posisi sulit.
Jika tidak ada perubahan sistemik, tren ini bisa semakin memperburuk kesenjangan gender di dunia kerja.
Baca Juga: Meritokrasi: Peluang atau Hambatan bagi Perempuan Karier di Dunia Kerja?
(*)