Studi Ini Ungkap Penilaian terhadap Politisi Perempuan Lebih Ketat dari Laki-Laki

Arintha Widya - Senin, 8 September 2025
Ketimpangan gender dalam politik menurut studi Durham University.
Ketimpangan gender dalam politik menurut studi Durham University. Thapana Onphalai

Parapuan.co - Kawan Puan, Indonesia bukan satu-satunya negara di mana ketimpangan gender dalam politik masih ada, bahkan mungkin masih kental. Hal ini mengingat kesetaraan gender belum terwujud di banyak segi kehidupan manusia di berbagai belahan dunia.

Sebuah penelitian terbaru dari Durham University, Inggris, mengungkapkan adanya perbedaan signifikan dalam cara pemilih menilai politisi perempuan dan laki-laki, khususnya di Amerika Serikat.

Studi yang dipimpin oleh Dr. Tessa Ditonto dari School of Government and International Affairs ini menemukan bahwa politisi perempuan cenderung mendapat penilaian lebih keras ketika mereka menyimpang dari norma kebijakan partai, sementara politisi laki-laki lebih sering mendapat “toleransi” bahkan ketika terlibat dalam skandal.

Simulasi Pemilu Kongres

Penelitian ini dilakukan melalui simulasi kampanye pemilu kongres fiktif. Peserta diminta untuk mempelajari dua kandidat rekaan—satu dari Partai Demokrat dan satu dari Partai Republik—lalu memberikan suara sesuai pilihan mereka.

Dalam simulasi, para peneliti menukar jenis kelamin kandidat dan menambahkan skandal palsu untuk menguji seberapa jauh pemilih tetap mendukung kandidat dari partai pilihannya. Hasilnya, ketika kebijakan kandidat sejalan dengan garis partai, skandal tidak banyak memengaruhi pilihan pemilih.

Namun, ketika kandidat menyimpang dari kebijakan partai, terjadi perbedaan tajam: dukungan terhadap kandidat perempuan menurun drastis, sedangkan kandidat laki-laki relatif tidak terpengaruh.

Standar yang Lebih Sempit dan Lebih Tinggi bagi Perempuan

Studi ini menunjukkan bahwa politisi perempuan masih dihadapkan pada standar yang “lebih sempit dan lebih tinggi” dibandingkan laki-laki. Pemilih cenderung memiliki lebih banyak keraguan pada awal kampanye terhadap kandidat perempuan, sehingga mereka harus bekerja lebih keras untuk membuktikan kemampuan memimpin.

Baca Juga: Keterwakilan Perempuan dalam Politik dan Yudikatif untuk Kebijakan Lebih Inklusif

Selain itu, ditemukan pula adanya “titik balik” (tipping point) bagi pemilih partisan. Artinya, terlalu banyak informasi negatif dapat membuat pemilih berpaling atau bahkan mengubah pilihan. Titik balik ini tercapai lebih cepat jika kandidatnya perempuan.

Menariknya, ketika politisi laki-laki menyimpang dari garis partai, hal itu kadang dianggap sebagai bentuk kepemimpinan yang berani. Sebaliknya, jika hal yang sama dilakukan oleh politisi perempuan, mereka justru dianggap tidak loyal.

Ketimpangan Gender dalam Politik

Temuan ini menegaskan adanya bias gender yang masih kuat dalam politik, khususnya di Amerika Serikat. Para peneliti menyoroti bahwa kesenjangan gender di bidang politik jauh lebih besar dibandingkan dengan sektor kesehatan, pendidikan, atau partisipasi ekonomi.

Menurut data yang dikutip dalam studi ini, jika laju kemajuan tetap seperti sekarang, dibutuhkan waktu hingga 162 tahun untuk menutup celah kesenjangan gender di ranah politik.

Studi dari Durham University di atas menegaskan bahwa ketimpangan gender masih menjadi persoalan besar dalam dunia politik. Politisi perempuan sering kali dihadapkan pada standar yang lebih ketat, harus membuktikan diri lebih keras, serta lebih cepat kehilangan dukungan ketika menghadapi isu negatif dibandingkan laki-laki. Sementara itu, politisi laki-laki justru lebih sering mendapat toleransi bahkan ketika melakukan kesalahan serius.

Fenomena ini menunjukkan bahwa bias gender masih mengakar kuat dalam persepsi publik, sehingga menghambat kesetaraan representasi perempuan di ranah politik.

Selama pemilih masih menilai kandidat berdasarkan stereotip gender, perempuan akan terus menghadapi tantangan lebih berat untuk menembus struktur kekuasaan.

Dengan laju perubahan yang sangat lambat, diperlukan langkah nyata dan sistematis untuk mempercepat terciptanya politik yang lebih adil dan setara bagi semua gender.

Baca Juga: IWD 2025, Komnas Perempuan Soroti Budaya Patriarki dan Diskriminasi Gender dalam Politik

(*)

Sumber: Durham University
Penulis:
Editor: Arintha Widya