Demo Pati 13 Agustus 'Seharusnya' Jadi Rambu Kuning Pejabat Negara

Saras Bening Sumunar - Jumat, 15 Agustus 2025
Demo Pati menuntung lengsernya Bupati Sudewo.
Demo Pati menuntung lengsernya Bupati Sudewo. Instagram/ sudewoofficial

Parapuan.co - Ribuan warga Pati, Jawa Tengah menggelar aksi demo menuntut 'sang Bupati', Sudewo turun dari jabatannya pada Rabu (13/8/2025). Aksi ini muncul bukan karena emosi sesaat masyarat, melainkan akibat kebijakan Bupati Sudwo yang sempat menaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga sebesar 250 persen.

Yang lebih miris, Sudewo sebagai pejabat yang seharusnya melayani masyarakat justru menantang warga untuk mengerahkan massa guna membatalkan kebijakan tersebut. Ada lebih dari 100.000 massa yang mengikuti aksi demo Pati.

Jumlah tersebut melebihi tantangan 50.000 orang seperti tantangan Bupati Sudewo. Bisa dibilang bahwa gelombang protes ini merata di seluruh Kabupaten Pati.

Bupati Pati Tolak Mundur

Bupati Pati, Sudewo menegaskan bahwa tidak akan memenuhi tuntutan massa yang meminta dirinya mundur dari jabatan. Menurutnya, ia dipilih rakyat secara konstitusional dan demokratis.

Sehingga ia tidak bisa berhenti menjadi Bupati hanya karena tuntutan seperti itu. "Saya dipilih rakyat secara konstitusional dan demokrasti, jadi tidak bisa berhenti hanya karena tuntutan seperti itu. Semua ada mekanismenya," kata Sudewo.

Di sisi lain, rasa percaya rakyat pada Sudewo kian terkikis. Bahkan dalam sebuah video viral di TikTok Bupati Sudewo terlihat dilempari oleh gelas air minum kemasan dan sandal yang melayang ke arahnya. Lemparan dari arah kerumunan ini tak kunjung berhenti, memaksa Sudewo kembali berlindung di dalam mobil rantis.

Kejadian ini terjadi ketika Sudewo menemui ribuan massa yang sedang berdemo. Sudewo juga menyampaikan permintaan maafnya pada rakyat dan berjanji berbuat lebih baik.

Pendapat Pakar Terkait Tuntutan Mundurnya Bupati Sudewo

Baca Juga: Apa Itu Hak Angket yang Disepakati DPRD Pati Usai Demo Tuntut Bupati Sudewo Mundur?

Ahli hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, menyebutkan, pemberhentian bupati dimungkinkan jika terbukti melanggar sumpah jabatan atau memicu keresahan.

Mekanismenya dilakukan melalui DPRD Kabupaten Pati dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Namun, proses ini sangat bergantung pada dinamika politik dan konsistensi tuntutan warga.

"Ada dua pola untuk aspirasi publik bisa menemukan tempatnya. Pertama, tentu melalui engagement (keterlibatan) di DPRD terhadap kepala daerah atau bupati, atau sanksi dari Kemendagri," ujar Feri dikutip dari Kompas.

Feri menjelaskan, mekanisme pemberhentian kepala daerah diatur dalam Pasal 77, 78, dan 79 Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Ada dua jalur utama yang bisa ditempuh masyarakat:

1. Melalui DPRD Kabupaten Pati

DPRD dapat memproses pemberhentian bupati jika ada dugaan pelanggaran sumpah jabatan atau kebijakan yang menimbulkan keresahan publik. Prosesnya harus melalui rapat paripurna untuk memutuskan alasan pemberhentian.

2. Melalui Kementerian Dalam Negeri

Kemendagri bisa langsung memberhentikan kepala daerah. Ini biasanya dilakukan jika ada pelanggaran berat, seperti korupsi atau gangguan serius pada ketertiban umum.

Baca Juga: Pilkada 2024 dan Deklarasi Peran Strategis Perempuan dalam Demokrasi

Sementara itu, seorang ibu rumah tangga yang juga aktif sebagai anggota Komunitas Wanita Tani (KWT) Mentari di Pesawaran, Lampung, Neneng Rosdiyana berbagi pandangannya tentang apa yang terjadi di Pati. Menurutnya aksi demo Pati ini menjadi 'kunci' bahkan rambu-rambu kuning bagi para pejabat.

"Pati adalah KUNCI. Jika rakyat di Pati berhasil menurunkan Si Raja Kecil dari singgasananya besok, maka itu akan menjadi rambu kuning buat pejabat-pejabat lain agar lebih berhati-hati dengan jabatan dan kebijakannya," tulis Neneng Rosdiyana lewat akun Facebook-nya.

Dalam unggahannya, Neneng juga mengatakan bahwa ada risiko lain apabila rakyat gagal melengserkan Bupati Pati, termasuk membuat pejabat akan lebih arogan dan semaunya sendiri.

"Namun jika Pati gagal, yang terjadi adalah sebaliknya. Para pejabat akan lebih arogan dan semuanya sendiri dalam kebijakannya," lanjut Neneng.

Terakhir, Neneng Rosdiyana menekankan bahwa Pati adalah barometer sekaligus pembuktian, masihkah rakyat berkuasa atau hanya sekedar pelengkap untuk mendulang suara mereka yang ingin berkuasa.

Unggahan Facebook Neneng Rosdiyana.
Unggahan Facebook Neneng Rosdiyana. Gambar tangkap layar FacebookNeneng Rosdiyana

Baca Juga: Tak Sebatas Tuntut THR, Demo Driver Ojek Online Juga Perjuangkan Hak Lady Ojol

(*)