Parapuan.co - Saat ini, teknologi sudah berkembang begitu pesat. Situasi ini bahkan membawa berbagai dampak positif, khususnya untuk perempuan baik dalam kehidupan pribadi, sosial, maupun profesional.
Sebelumnya, banyak hambatan yang membatasi ruang gerak perempuan, mulai dari akses informasi, kesempatan kerja, hingga partisipasi dalam pendidikan. Kini, teknologi membawa peluang yang jauh lebih luas.
Sayangnya di waktu bersamaan, kemajuan teknologi juga memberikan ancaman pelecehan dan kekerasan bagi perempuan secara digital. Sebuah penelitian tentang kesetaraan gender menemukan bahwa kekerasan secara online memang bisa dialami oleh perempuan maupun laki-laki.
Akan tetapi, perempuan lebih mungkin menjadi sasaran kekerasan siber. Walaupun terjadi secara online, situasi ini merupakan ancaman serius yang mengakibatkan kerugian pada perempuan dari segi fisik, seksual, psikologis, maupun ekonomi.
Lantas, mengapa perempuan rentan menjadi korban pelecehan dan kekerasan di dunia digital? Menurut penulis, norma gender dan misogini bukan hanya terjadi di dunia nyata, tetapi juga bermigrasi ke dunia digital atau online.
Bias dan stereotip tentang perempuan yang 'menjadi objek seksual' seakan bermutasi dan berpindah ke layar. Ia justru menemukan panggung baru yang menormalisasikan candaan berbau seksual dan kultur menyalahkan korban yang membuat mereka bungkam.
Budaya patriarki yang mengakar di banyak negara, termasuk Indonesia, menciptakan pandangan bahwa perempuan lebih rendah atau lebih 'layak' menjadi objek seksual dibandingkan laki-laki.
Pola pikir ini terbawa ke dunia digital, di mana perempuan sering menjadi target komentar seksis, catcalling online, bahkan ancaman kekerasan. Pandangan yang merendahkan perempuan membuat pelaku merasa memiliki legitimasi untuk melakukan pelecehan.
Pendapat penulis dipertegas dengan adanya penelitian dari Institute of Development Studies yang dirilis oleh UN Women bahwa 16 sampai 58 persen perempuan telah mengalami kekerasan berbasis gender online (KBGO).
Baca Juga: 5 Cara untuk Membantu Mengakhiri Kasus Kekerasan pada Perempuan
Lewat data tersebut, pelecehan dan kekerasan secara online pada perempuan mencakup komentar merendahkan, ancaman, serta upaya merusak kredibilitas dan keberadaan perempuan.
Menurut penulis, bentuk pelecehan ini bukan hanya tentang tindakan itu sendiri, tetapi juga terkait erat dengan sikap masyarakat lebih luas yang berupaya memperkuat peran gender tradisional dan membungkam suara perempuan.
Lebih jauh lagi, efek anonimitas juga menjadi faktor lain mengapa perempuan rentan mengalami pelecehan dan kekerasan secara online. Dunia digital memungkinkan pelaku bersembunyi di balik identitas anonim atau akun palsu.
Hal ini membuat mereka merasa aman dari hukuman, sehingga berani melakukan pelecehan atau kekerasan. Sayangnya, proses hukum terkait kekerasan digital masih memiliki banyak celah, sehingga korban sulit mendapatkan keadilan.
Menurut penulis, anonimitas dalam media sosial meningkatkan seseorang berkomentar atau mengatakan hal-hal yang tidak akan dikatakan dalam interaksi tatap muka.
Sementara itu, perempuan yang menjadi korban kekerasan digital sering mengalami trauma, kecemasan, hingga depresi. Tidak jarang korban memilih diam karena takut disalahkan, dirundung, atau reputasinya rusak.
Stigma sosial ini memperparah kerentanan perempuan, karena pelaku menjadi semakin leluasa ketika korban memilih untuk tidak melawan. Bagi penulis, kerentanan perempuan terhadap pelecehan dan kekerasan di dunia digital bukanlah sekadar akibat dari teknologi itu sendiri, tetapi hasil dari kombinasi faktor sosial, budaya, psikologis, dan struktural.
Bukan berarti, perempuan dilarang untuk menyelami dunia digital, melainkan mengubah budaya yang menormalisasi pelecehan dan kekeresan. Dunia digital seharusnya menjadi ruang aman bagi semua, bukan arena baru untuk melanggengkan kekerasan.
Baca Juga: Kekerasan Digital Terhadap Jurnalis Perempuan Meningkat, Dewan Pers Bentuk Satgas Khusus
(*)