Kartu Janda Jakarta, Bentuk Perlindungan atau Diskriminasi terhadap Perempuan?

Arintha Widya - Jumat, 8 Agustus 2025
Kontroversi Kartu Janda Jakarta
Kontroversi Kartu Janda Jakarta iStockphoto

Parapuan.co - Kawan Puan, wacana terkait Kartu Janda Jakarta kini tengah ramai diperbincangkan. Sebelumnya, Fraksi Partai Gerindra DPRD DKI Jakarta mengusulkan program bantuan sosial baru bernama Kartu Janda Jakarta (KJJ) kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta.

Usulan ini disampaikan dalam agenda Penyampaian Pandangan Umum Fraksi-Fraksi terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Perubahan APBD DKI Tahun Anggaran 2025 di Gedung DPRD DKI, Jakarta Pusat, Senin (21/7/2025), seperti dikutip dari Kompas.com.

Wakil Bendahara Gerindra DKI Jakarta, Jamilah Abdul Gani, menjelaskan bahwa usulan KJJ berasal dari aspirasi masyarakat yang mereka terima saat reses. Menurutnya, program ini diharapkan menjadi bentuk perlindungan sosial yang responsif terhadap perempuan yang kehilangan pasangan dan menghadapi kesulitan ekonomi.

KJJ akan menyasar perempuan berstatus janda berusia 45–60 tahun yang tidak memiliki pekerjaan. Usulan ini bahkan mendapat dukungan dari anggota Fraksi PAN, Bambang Kusumanto, yang menilai ide tersebut menarik dan layak didorong.

Sejauh ini, Pemprov DKI Jakarta sudah memiliki berbagai bantuan sosial seperti Kartu Lansia Jakarta (KLJ), Kartu Anak Jakarta (KAJ), Kartu Penyandang Disabilitas Jakarta (KPDJ), serta bantuan pendidikan melalui Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul (KJMU).

Antara Perlindungan dan Stigma

Jika dilihat dari tujuan awalnya, KJJ merupakan upaya positif untuk mengisi celah bantuan sosial yang mungkin belum terjangkau program lain. Perempuan berstatus janda, khususnya di usia pra-lansia, sering kali menghadapi tantangan ekonomi yang berat.

Mereka mungkin kesulitan mendapat pekerjaan karena keterbatasan usia, minimnya keterampilan baru, atau beban keluarga yang besar. Namun, di balik niat baik tersebut, muncul pertanyaan penting: apakah penamaan dan sasaran program ini justru berpotensi menstigmatisasi?

Label “kartu janda” bisa saja memperkuat stereotip atau diskriminasi terhadap perempuan yang kehilangan pasangan. Alih-alih memberi martabat, ada risiko penerima bantuan justru merasa dikucilkan secara sosial.

Baca Juga: Ganti Istilah Janda Jadi Ibu Tunggal: Bentuk Penghormatan terhadap Perempuan

Potensi Diskriminasi dalam Kebijakan

Kriteria penerima KJJ yang hanya mencakup janda berusia 45–60 tahun tanpa pekerjaan juga menimbulkan perdebatan. Bagaimana dengan janda di bawah usia 45 yang tetap mengalami kesulitan ekonomi? Atau janda yang bekerja paruh waktu dengan pendapatan minim?

Kebijakan berbasis status pernikahan tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi secara menyeluruh berpotensi tidak adil. Terlebih, tidak ada kategori “kartu duda” bagi laki-laki yang kehilangan pasangan, padahal mereka pun bisa menghadapi kesulitan serupa.

Belajar dari Program Bansos Lain

Program bantuan sosial yang sudah berjalan di DKI Jakarta umumnya menggunakan kategori yang netral secara gender, seperti KLJ (berdasarkan usia), KPDJ (berdasarkan kondisi disabilitas), atau KAJ (berdasarkan usia anak). Model ini mengurangi risiko stigma sekaligus menjangkau kelompok rentan berdasarkan kebutuhan riil, bukan status sosial tertentu.

Jika Pemprov DKI ingin membantu kelompok janda pra-lansia, nama program dan mekanisme seleksi bisa diarahkan menjadi bantuan untuk perempuan kepala keluarga pra-lansia miskin, atau bantuan ekonomi perempuan rentan. Pendekatan ini lebih inklusif dan tidak mengkotak-kotakkan penerima berdasarkan label yang sarat muatan sosial.

Perlu Hati-Hati Mengemas Niat Baik

Usulan Kartu Janda Jakarta memang lahir dari keinginan membantu kelompok yang kerap luput dari perhatian. Namun, kebijakan publik yang efektif tidak hanya soal niat baik, tetapi juga bagaimana ia dikemas, disosialisasikan, dan dijalankan tanpa menimbulkan stigma.

Perlindungan sosial harus menyasar kebutuhan ekonomi, bukan sekadar status personal. Dengan begitu, program bantuan dapat benar-benar menjadi jaring pengaman bagi semua warga yang rentan, tanpa menambah beban psikologis atau diskriminasi.

Baca Juga: Beragam Tantangan Indonesia dalam Menghapus Diskriminasi Terhadap Perempuan

(*)

Sumber: Kompas.com
Penulis:
Editor: Arintha Widya