Baca Juga: We Are Family: Sinopsis Film India Bertema Keluarga Dibintangi Kajol dan Kareena Kapoor
Eros menuding Rai menggunakan isu AI ini sebagai taktik pengalihan dari masalah hukum yang dihadapinya. Namun, Rai menolak keras tudingan tersebut dan menyatakan:
"Kami memang punya sejarah profesional panjang dengan Eros. Mungkin ada keluhan dari kedua pihak, dan itu bisa diselesaikan lewat jalur hukum. Tapi itu tidak ada kaitannya dengan isu yang jauh lebih penting ini," terang Rai.
Pertarungan Prinsip: Hak Cipta dan Masa Depan Sinema
Inti konflik ini menyentuh soal hak moral dalam hukum hak cipta India. Rai merujuk pada putusan Mahkamah Agung India tahun 2022 yang mengakui status sutradara sebagai pengarang berdasarkan Pasal 57 Undang-Undang Hak Cipta India, meskipun hak ekonomi sudah dialihkan ke produser.
Namun Dwivedi mengklaim bahwa dalam kontrak awal, Rai telah melepaskan hak moralnya secara tertulis, dan bahwa produser dianggap sebagai pengarang legal menurut undang-undang India.
Ia mengatakan, "Kita menyaksikan benturan abadi antara yang takut akan perubahan dan mereka yang menyambut kemajuan. Semua era sinema pernah mengalaminya—saat suara menggantikan film bisu, warna menggantikan hitam putih, digital menantang seluloid, dan sekarang AI berhadapan dengan narasi."
Momen Penentu untuk Perfilman India
Rai menyebut situasi ini sebagai "momen penting bagi industri perfilman India" yang bisa menentukan masa depan hak cipta kreator. Ia menyerukan agar badan industri dan regulator membuat pedoman etika untuk penggunaan AI dalam film.
"Seperti industri film Amerika yang menghadapi momen penting terkait AI dua tahun lalu, kami percaya sinema India kini ada di titik baliknya. Pilihan yang kita ambil hari ini akan menentukan apakah kita akan maju dengan martabat dan kebebasan kreatif, atau malah menjadi industri yang mudah dimanipulasi atas nama kemajuan," pungkasnya.
Baca Juga: Sinopsis Film India Dangal: Perjuangan Perempuan Jadi Juara Gulat Dunia
Kontroversi Raanjhanaa membuka babak baru dalam diskusi global seputar AI dan seni. Di tengah kemajuan teknologi yang tak terhindarkan, pertanyaan besar pun mengemuka: Siapa yang berhak menentukan akhir dari sebuah cerita?
Apakah teknologi boleh melampaui suara kreator? Atau justru saatnya kita menetapkan batas demi menjaga ruh dari sinema itu sendiri?
(*)