Rai juga mengingatkan bahwa film bukan sekadar produk komersial, melainkan hasil kerja keras dan visi para seniman yang menghidupkannya. "Mengubah film setelah jadi, apalagi melalui cara-cara buatan seperti ini, bukan sekadar pelanggaran kepercayaan. Ini pelanggaran terhadap ide dasar kepengarangan," tuturnya.
“Penggunaan AI untuk mengubah narasi, nada, atau makna tanpa keterlibatan sutradara bukan hanya tidak masuk akal, tapi juga mengancam fondasi budaya dan kreatif yang ingin kita jaga.”
Studio Eros Membela Diri: "Reinterpretasi yang Sah dan Inovatif"
CEO Eros Group, Pradeep Dwivedi, membela keputusan perusahaannya sebagai langkah legal dan inovatif. Dalam unggahan LinkedIn-nya, ia menyebut langkah ini sebagai “reinterpretasi yang penuh rasa hormat” dan menempatkannya dalam konteks evolusi global perfilman.
"Di Eros, dengan lebih dari 4.000 film yang kami produksi dan distribusikan secara global, kami percaya jiwa sinema tidak terletak pada perlawanan, tetapi pada reinvensi," papar Pradeep Dwivedi.
Dwivedi menegaskan bahwa semua konten AI diawasi oleh tim kreatif manusia dan bahwa versi AI bukan pengganti, melainkan tambahan dari versi asli. "Raanjhanaa versi orisinal tetap tersedia luas, sedangkan versi AI hanya narasi alternatif yang jelas diberi label sebagai reinterpretasi," tambahnya lagi.
Pertarungan Hukum dan Tuduhan Timbal Balik
Kontroversi ini muncul di tengah konflik hukum yang sedang berlangsung antara Eros dan Aanand L. Rai. Studio tersebut menuding Rai menggunakan elemen dari Raanjhanaa secara tidak sah dalam proyek terbarunya Tere Ishq Mein. Mereka mengeluarkan surat peringatan untuk menghentikan penggunaan kreatif yang dianggap turunan dari film aslinya.
Tak hanya itu, Eros juga menuduh Rai melakukan pelanggaran tata kelola perusahaan dalam produksi Colour Yellow. Sengketa ini sedang diproses di National Company Law Tribunal (NCLT) India.