Namun, meski regulasi dan institusi sudah terbentuk, perlindungan di lapangan belum sepenuhnya ideal. Banyak kasus menunjukkan bahwa pekerja perempuan masih menjadi kelompok paling rentan terhadap berbagai bentuk pelanggaran hak, baik yang bersifat administratif maupun kekerasan fisik dan psikologis.
Lonjakan Kasus yang Mengkhawatirkan
Yang menjadi perhatian khusus adalah meningkatnya jumlah kasus yang melibatkan pekerja migran perempuan dari tahun ke tahun. Judha memaparkan data bahwa sepanjang tahun lalu, tercatat ada 67.000 kasus yang dihadapi oleh pekerja perempuan Indonesia di luar negeri.
"Unfortunately, itu juga konsisten dengan jumlah kasus yang dihadapi oleh pekerja perempuan. Tahun lalu, kita mencatatkan ada 67.000 kasus ini yang dihadapi oleh WNI pekerja perempuan," ungkap Judha.
Angka ini menunjukkan lonjakan signifikan dibandingkan data tahun 2019, yang saat itu baru tercatat sekitar 24.000 kasus. Kenaikan ini memperlihatkan bahwa tantangan yang dihadapi oleh perempuan pekerja migran tidak hanya meningkat secara kuantitatif, tetapi juga semakin kompleks dalam hal penyebab dan dampaknya.
"Kami antisipasi tahun depan akan banyak. Artinya apa? Tantangan terhadap pekerja migran perempuan juga semakin banyak dan semakin kompleks," kata Judha lagi.
Tantangan yang dihadapi oleh pekerja migran perempuan mencakup berbagai dimensi. Banyak dari mereka bekerja di sektor informal seperti rumah tangga, yang sulit dijangkau oleh sistem hukum negara tujuan. Mereka juga kerap menghadapi persoalan ketenagakerjaan seperti gaji tidak dibayar, jam kerja berlebihan, pelecehan seksual, kekerasan fisik, hingga penyiksaan yang mengancam jiwa.
Tak sedikit pula pekerja perempuan yang mengalami kesulitan dalam mengakses bantuan hukum atau layanan sosial ketika menghadapi masalah. Hal ini diperparah oleh minimnya pengetahuan mereka tentang hak-hak hukum, keterbatasan bahasa, hingga ketergantungan pada agen penyalur tenaga kerja yang sering kali tidak bertanggung jawab.
Selain itu, faktor sosial seperti tekanan ekonomi, tanggung jawab sebagai kepala keluarga, dan kurangnya peluang kerja di daerah asal menjadi latar belakang banyak perempuan memilih menjadi pekerja migran, meski dengan risiko tinggi.
Perlindungan Bukan Hanya Soal Hukum
Perlindungan pekerja migran perempuan tidak bisa hanya mengandalkan undang-undang. Diperlukan pendekatan menyeluruh, mulai dari edukasi pra-keberangkatan, penguatan pengawasan terhadap agen perekrutan, diplomasi bilateral dengan negara tujuan, hingga penguatan komunitas pendukung di luar negeri.
Kolaborasi antara pemerintah, organisasi masyarakat sipil, media, dan masyarakat luas sangat penting untuk mendorong budaya migrasi yang aman, adil, dan berbasis hak asasi manusia. Pemerintah juga perlu memperkuat sistem pendataan dan pelaporan agar kasus-kasus yang terjadi dapat ditindaklanjuti secara akurat dan cepat.
Fakta bahwa lebih dari 75 persen pekerja migran Indonesia adalah perempuan seharusnya menjadi pemicu bagi negara untuk memberikan perhatian lebih pada aspek perlindungan dan pemberdayaan mereka. Di tengah kontribusi besar yang mereka berikan bagi ekonomi rumah tangga dan negara, para perempuan ini masih menghadapi risiko eksploitasi, kekerasan, dan ketidakadilan struktural.
Meningkatnya jumlah kasus yang dialami oleh pekerja migran perempuan adalah peringatan nyata bahwa kita belum cukup serius melindungi mereka. Perlindungan tidak boleh hanya menjadi wacana, tetapi harus diwujudkan dalam sistem yang benar-benar berpihak kepada mereka—baik di dalam negeri maupun di negara tujuan.
(*)