Kata Nenden SAFEnet Soal Kekerasan terhadap Jurnalis Termasuk Pelanggaran Hak Digital

Arintha Widya - Senin, 21 Juli 2025
Direktur Eksekutif SAFEnet bicara soal kekerasan terhadap jurnalis.
Direktur Eksekutif SAFEnet bicara soal kekerasan terhadap jurnalis. Instagram @safenetvoice

Parapuan.co - Kekerasan terhadap jurnalis semakin kompleks seiring berkembangnya dunia digital. Tak hanya dalam bentuk intimidasi fisik di lapangan, kini ancaman juga datang dalam bentuk serangan digital yang dapat membahayakan keselamatan jurnalis secara menyeluruh.

Nenden Sekar Arum, Direktur Eksekutif SAFEnet, platform advokasi hak digital dan kebebasan berekspresi sekaligus anggota Indonesian Data Journalism Network, menegaskan bahwa kekerasan terhadap jurnalis di ranah digital merupakan bentuk pelanggaran hak digital yang perlu dipahami secara serius dan ditangani secara lintas sektor.

Dalam wawancaranya bersama PARAPUAN, Nenden menjelaskan bahwa kekerasan selalu bisa hadir dalam berbagai bentuk dan modus, tak terkecuali di ranah digital. Bahkan kekerasan digital juga bisa mengarah pada bentuk kekerasan fisik, yang bermula dari ancaman kemudian menjadi penyerangan.

Serangan Digital Berbahaya dan Bisa Berujung Ancaman Fisik

Nenden menjelaskan bahwa bentuk kekerasan digital terhadap jurnalis seperti doxing (penyebaran informasi pribadi tanpa izin), trolling (perundungan daring), hingga penyebaran data sensitif, sangat mungkin bereskalasi menjadi kekerasan fisik yang membahayakan nyawa jurnalis.

Ia menyampaikan kekhawatirannya, "Ketika kita melihat misalnya ada serangan digital kepada jurnalis, mulai dari doxing, misalnya dari trolling, itu akan sangat mungkin tereskalasi pada keamanan fisik si jurnalis. Karena sudah disebarkan alamat kantor, alamat rumah, bahkan keluarganya, maka peluang untuk diserang secara fisik itu menjadi sangat besar."

Untuk itu, ia menekankan pentingnya menangani serangan digital sejak dini, sebelum berkembang menjadi ancaman yang lebih luas. SAFEnet sebagai bagian dari Komite Keselamatan Jurnalis bersama 11 organisasi masyarakat sipil lainnya—termasuk lembaga bantuan hukum dan asosiasi jurnalis—telah aktif memberikan first aid atau pertolongan pertama kepada korban serangan digital.

Mereka juga berkolaborasi dalam menyusun protokol keamanan digital dan fisik bagi jurnalis yang terdampak. "Kami perlu memastikan si jurnalis ini menjadi aman. Apakah kita perlu menyusun protokol keamanan digital dan fisiknya? Apakah perlu menghubungi jejaring terdekat dengan jurnalis tersebut? Semua itu kami bahas bersama agar jurnalis mendapatkan perlindungan menyeluruh," ujar Nenden.

Jurnalisme Data: Mengungkap Fakta, Bukan Sekadar Ikut Viral

Baca Juga: Komnas Perempuan Dorong Femicide Watch Usai Pembunuhan Jurnalis di Banjarbaru

Sebagai pegiat jurnalisme data, Nenden juga menyoroti bagaimana jurnalisme berbasis data dapat memperkuat isu-isu hak digital dan kebebasan berekspresi. Di tengah maraknya konten viral yang mengandalkan sensasi dan clickbait, jurnalisme data menjadi penyeimbang dengan menyajikan informasi yang terverifikasi dan dapat dipertanggungjawabkan.

"Kita sekarang melihat jurnalisme berkualitas itu bertarung dengan jurnalisme viral, dengan data sebetulnya sebagai salah satu upaya untuk memastikan konsep verifikasi itu berjalan," kata Nenden.

Ia menekankan bahwa data membantu publik memahami skala persoalan yang sebenarnya, termasuk dalam konteks pelanggaran hak digital. Misalnya, sebuah isu yang tampak heboh di media sosial bisa jadi hanya segelintir kasus jika dibandingkan dengan data yang tersedia secara luas dan valid.

Lebih lanjut, ia menyebutkan, "Dengan data kita bisa menggambarkan secara lebih konkret dan dapat dipertanggungjawabkan. Dan itu adalah fakta yang orang bisa cek secara individu juga. Ini benar apa enggak."

Sinergi Organisasi Jadi Kunci Penanganan Kasus

Nenden yang juga punya latar belakang jurnalistik menekankan pentingnya kerja sama dan pembagian peran di antara organisasi masyarakat sipil untuk menangani kasus kekerasan terhadap jurnalis. Penanganan kasus tak hanya berhenti pada satu jenis serangan, tapi juga mencakup strategi jangka panjang agar jurnalis tetap terlindungi dari berbagai sisi.

"Memang ada upaya pembagian peran juga yang sangat penting untuk memastikan semuanya bisa berkolaborasi untuk menangani kasus kekerasan terhadap jurnalis," jelasnya.

Pernyataan Nenden Sekar Arum menggambarkan realitas baru yang dihadapi jurnalis di era digital: ancaman yang tak kasat mata namun berdampak nyata. Serangan digital adalah bentuk kekerasan yang tak boleh diremehkan, karena bukan hanya merusak hak berekspresi, tapi juga berpotensi membahayakan nyawa.

Di sisi lain, jurnalisme data menjadi alat penting untuk mengungkap kebenaran secara akurat dan menjaga kualitas informasi di tengah arus disinformasi. Kolaborasi lintas organisasi, pendekatan interdisipliner, serta perlindungan menyeluruh bagi jurnalis adalah kunci dalam memperkuat kebebasan pers dan hak digital di Indonesia.

Baca Juga: Kekerasan Digital Terhadap Jurnalis Perempuan Meningkat, Dewan Pers Bentuk Satgas Khusus

(*)

Sumber: Wawancara
Penulis:
Editor: Arintha Widya