Parapuan.co - Femisida kembali terjadi. Kali ini dialami seorang perempuan asal Cisauk, Tangerang. Kasus pembunuhan keji terhadap perempuan berinisial APSD (22) ini bermula dari masalah utang piutang yang tak seberapa nilainya.
Korban menagih utang Rp1,1 juta kepada mantan pacarnya, RRP (19), melalui status WhatsApp. Tindakan itu rupanya membuat RRP sakit hati dan marah, terlebih karena korban juga diketahui telah memiliki kekasih baru.
Pada Senin, 7 Juli 2025, RRP mengajak APSD bertemu di sebuah rumah kosong di kawasan Cibogo, Cisauk, dengan dalih akan membayar utangnya. Namun, sebagaimana kronologi pembunuhan korban yang dikutip dari Kompas.com, RRP tidak datang sendirian. Ia membawa dua rekannya, IF (21) dan AP (17), yang sudah merencanakan penyerangan.
Mereka menyiapkan pisau, gunting, borgol, bahkan obeng sebagai alat bantu untuk melancarkan aksinya.
Begitu korban tiba dan kembali menagih uangnya, RRP memiting lehernya dari belakang dan membekap mulutnya hingga terjatuh. Dalam kondisi tak berdaya, korban diborgol dan ditahan oleh kedua teman RRP.
Mereka lalu memperkosa korban secara bergiliran di teras rumah dalam kondisi tangan korban terikat.
Setelah itu, tubuh korban dipindahkan ke semak-semak sekitar 30 meter dari lokasi kejadian. Di sanalah pembunuhan brutal dilakukan.
IF menusuk leher dan pipi korban dengan pisau, serta menghantam dadanya dengan batu. Sementara itu, AP menusuk perut korban dengan gunting dan menusukkan obeng ke bagian dekat telinga kanan dan kiri korban secara berulang.
Usai melakukan aksi femisida tersebut, mereka menutupi jasad korban dengan semak-semak dan membawa kabur motor milik korban. Jenazah baru ditemukan sembilan hari kemudian, tepatnya Rabu, 16 Juli 2025, dalam kondisi membusuk dan masih terborgol.
Dari hasil penyelidikan dan rekaman CCTV, polisi berhasil menangkap ketiga pelaku pada 17 Juli di lokasi yang berbeda. Ketiganya kini terancam hukuman berat atas tindakan pembunuhan berencana dan pemerkosaan.
Apakah Ruang Aman bagi Perempuan Hanya di Kamarnya Sendiri?
Baca Juga: Tantangan Menciptakan Ruang Aman untuk Perempuan Korban Kekerasan di Indonesia
Tragedi memilukan yang menimpa APSD di Cisauk kembali menggugah kesadaran publik bahwa menjadi perempuan di negeri ini—meski hanya untuk menagih haknya—bisa berujung maut. Ia bukan sedang pulang larut malam, bukan pula sedang berada di tempat asing atau ramai pesta. Ia hanya ingin menagih utang, terlepas apapun hubungannya dengan orang yang berutang.
Namun, bahkan langkah kecil seperti itu pun berbuah bencana. Dirinya dipanggil dengan dalih akan dibayar, tetapi justru disambut dengan kekerasan, pemerkosaan, dan pembunuhan. Pelakunya? Bukan orang asing. Justru orang yang pernah dekat, yang tahu celah kepercayaannya, dan yang tak bisa menerima penolakan serta rasa malu karena ditagih di ruang publik digital.
Pertanyaan besarnya adalah: di mana ruang aman bagi perempuan saat ini? Jika di ruang publik ia bisa dibuntuti, dilecehkan, atau dibunuh, dan di ruang digital ia bisa dihantui risiko doxing hingga kekerasan berbasis gender online, maka apakah satu-satunya ruang aman yang tersisa hanyalah kamar tidurnya sendiri?
Jawabannya pun tak sesederhana itu. Fakta menunjukkan banyak kasus kekerasan terhadap perempuan justru terjadi di ruang privat: oleh orang terdekat, di rumah, bahkan di kamar mereka sendiri. Itu artinya, bukan sekadar di luar rumah atau tempat gelap yang menjadi sumber bahaya. Perempuan tidak aman bukan karena tempatnya, melainkan karena sistem yang belum benar-benar berpihak padanya.
Kita hidup dalam masyarakat yang masih menganggap wajar kemarahan laki-laki yang ditagih, namun mempertanyakan, "kenapa perempuan itu berani menemui mantannya sendiri".
Kita belum cukup banyak mengajarkan pada laki-laki bahwa kehilangan kontrol atas emosi bukan alasan untuk merenggut nyawa. Kita lebih sering menyalahkan perempuan karena keluar rumah atau karena terlalu vokal, ketimbang mempertanyakan kenapa ada yang merasa berhak memperkosa dan membunuh hanya karena harga dirinya tersinggung.
PARAPUAN menyampaikan ini bukan untuk membuat perempuan takut keluar rumah, melainkan justru agar publik sadar bahwa tidak cukup membuat perempuan tinggal diam untuk membuat mereka aman. Ruang aman bukan sekadar lokasi, tapi tentang jaminan bahwa siapa pun—terutama perempuan—dilindungi dari kekerasan, di mana pun mereka berada.
APSD hanya ingin menagih utangnya. Namun yang ia temukan adalah ujung keji dari patriarki yang gagal mengajarkan empati dan batas. Dan selama kita terus menyalahkan perempuan karena kehadirannya di ruang publik, maka pertanyaan di mana ruang aman bagi perempuan?" akan terus menggantung, tanpa jawaban yang adil.
Baca Juga: Female Seat Map, Apakah Bisa Hadirkan Ruang Aman untuk Perempuan saat Memakai Transportasi Umum?
(*)