Parapuan.co - Suasana rapat kerja Komisi X DPR RI bersama Menteri Kebudayaan Fadli Zon pada Rabu (2/7/2025) berubah menjadi haru dan emosional saat isu sensitif tentang pemerkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa dalam Tragedi Mei 1998 dibahas secara terbuka. Ketegangan memuncak ketika Fadli Zon, yang kini menjabat sebagai menteri, mempertanyakan kembali penggunaan diksi "massal" dalam kasus pemerkosaan yang terjadi lebih dari dua dekade lalu.
Pernyataan tersebut memicu respons emosional dari dua anggota DPR perempuan yang dikenal vokal dalam isu kemanusiaan, yakni Wakil Ketua Komisi X DPR RI My Esti Wijayati dan Anggota Komisi X DPR RI Mercy Chriesty Barends, keduanya dari Fraksi PDI Perjuangan. Keduanya tak kuasa menahan air mata saat menyampaikan bahwa mempertanyakan kembali penderitaan para korban hanya akan membuka kembali luka lama yang belum pernah benar-benar disembuhkan.
Di balik air mata dan suara bergetar mereka, terdapat jejak panjang perjuangan sebagai politisi perempuan yang tak hanya duduk di parlemen, tapi juga hadir sebagai penyambung suara mereka yang selama ini dibungkam. Yuk, kenali kedua sosok perempuan tersebut seperti dikutip dari laman resmi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)!
1. My Esti Wijayati
/photo/2025/07/07/my-estijpg-20250707022941.jpg)
My Esti Wijayati adalah politisi senior dari PDI Perjuangan yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi X DPR RI. Perempuan kelahiran Yogyakarta ini telah lebih dari dua dekade mengabdi di dunia politik, dimulai dari tingkat kabupaten hingga nasional. Ia dikenal luas sebagai wakil rakyat yang memiliki komitmen kuat terhadap isu pendidikan, kesetaraan, dan hak asasi manusia.
Perjalanan akademisnya dimulai dari SDN Purworejo I, dilanjutkan ke SMPN III IKIP dan SMAN III IKIP, sebelum menempuh pendidikan tinggi di Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IKIP Sanata Dharma. Tak berhenti belajar, My Esti kemudian melanjutkan studi hukum di Universitas Widya Mataram Yogyakarta pada 2020.
Pengalaman politiknya mencakup posisi sebagai Ketua Komisi C di DPRD Kabupaten Sleman dan Provinsi DIY, hingga akhirnya menjadi anggota DPR RI sejak 2014. Di Komisi X DPR RI, ia konsisten menyuarakan isu-isu pendidikan, kebudayaan, pemuda, dan olahraga. Namun, suaranya tidak hanya terbatas di isu pendidikan.
Dalam forum resmi DPR, ia lantang menyampaikan kebenaran tentang kekerasan seksual yang terjadi pada tragedi Mei 1998, dan tak ragu meneteskan air mata demi membela korban dan memastikan peristiwa itu tidak dilupakan.
Baca Juga: Peran Perempuan Minim, DPR Refleksi Pemilihan Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK 2024-2029
2. Mercy Chriesty Barends
Mercy Chriesty Barends adalah anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan yang mewakili daerah pemilihan Maluku. Perempuan berdarah Ambon ini memiliki rekam jejak panjang sebagai aktivis kemanusiaan, pembela perempuan, dan tokoh masyarakat yang disegani, jauh sebelum terjun ke dunia politik nasional.
Pendidikan dasarnya ia tempuh di Ambon, dan ia melanjutkan ke Fakultas Teknik Mesin Kapal di Universitas Pattimura. Meski berlatar belakang teknik, Mercy justru menapaki jalan hidup sebagai aktivis sosial sejak masa kuliah, antara lain melalui organisasi kemahasiswaan dan gerakan kemanusiaan pasca konflik Maluku.
Ia sempat menjabat sebagai Direktur Eksekutif Lembaga Partisipasi Pembangunan Masyarakat Maluku (LPPM) dan sekretaris GASIRA, lembaga advokasi perempuan Maluku.
Karier politiknya dimulai dari DPRD Provinsi Maluku, di mana ia sempat menjabat sebagai Wakil Ketua. Di tingkat nasional, ia menjadi anggota DPR RI sejak 2014 dan aktif di berbagai struktur organisasi PDI Perjuangan, termasuk sebagai Ketua Divisi Energi dan Lingkungan di DPP. Mercy juga dikenal sebagai pejuang isu lingkungan, energi terbarukan, dan pendidikan.
Namun, salah satu sisi paling menyentuh dari sosok Mercy adalah keberaniannya menyuarakan penderitaan perempuan korban kekerasan. Dalam sidang DPR yang membahas tragedi 1998, Mercy tak mampu membendung air mata saat mengingat kembali derita para perempuan korban pemerkosaan massal yang selama ini diabaikan.
Sebagai perempuan dan wakil rakyat, kedua tokoh wakil rakyat di atas dapat menjadi simbol empati dan keberanian untuk tidak membiarkan sejarah dikaburkan.
Baca Juga: 10 Agenda Penghapusan Kekerasan yang Diajukan Komnas Perempuan untuk DPR 2024-2029
(*)