Namun, seiring cerita berjalan, penonton diajak melihat sisi lain dari Qing Cheng—seorang perempuan muda yang tahu apa yang ia inginkan, punya batasan, dan tidak mau menjadi sekadar karakter tempelan dalam narasi orang lain.
Keberadaan Qing Cheng justru menantang narasi usang tentang perempuan “baik” vs “penggoda”. Ia menuntut ruangnya sendiri sebagai perempuan yang punya agensi, dan mengajak penonton untuk berhenti menilai terlalu cepat.
Narasi Dekat dan Personal: Saat Perempuan Menjadi Pencerita Utama
Yang membuat Dear Enemy terasa segar adalah bagaimana Luo Man kerap berbicara langsung ke penonton. Gaya ini tidak hanya membuat kita lebih dekat dengan tokoh utamanya, tetapi juga menyadarkan kita bahwa Luo Man adalah narator yang tidak selalu dapat dipercaya.
Pandangannya bisa bias, dan justru di sanalah letak kejujuran emosionalnya, bahwasanya tidak semua perempuan protagonis harus sempurna atau selalu benar.
Dengan pendekatan ini, drama ini mengundang penonton untuk menelaah ulang siapa sebenarnya "musuh" dalam hidup mereka. Terkadang, musuh itu bukan orang lain, tetapi rasa tidak aman, harapan yang tidak realistis, atau luka masa lalu yang belum sembuh.
Tentang Menyembuhkan dan Memaafkan
Di tengah konflik dan ketegangan yang membara, Dear Enemy tidak lupa menghadirkan harapan. Persahabatan Luo Man dan Chen Kai Xi perlahan membaik seiring mereka saling membuka diri dan memahami satu sama lain.
Drama ini menunjukkan bahwa meski relasi perempuan bisa diliputi iri dan salah paham, ada ruang untuk saling mendukung, menyembuhkan, dan tumbuh bersama. Yuk, intip trailer drama yang tayang di WeTV ini:
Baca Juga: Sinopsis Series Go Back Lover, Drama China yang Sedang Viral di TikTok
(*)