Kekerasan ini, yang mencakup ruang fisik maupun platform digital, menghalangi banyak perempuan untuk memasuki atau melanjutkan karier dalam kepemimpinan politik, sehingga merusak kesetaraan gender dalam representasi.
Norma dan praktik gender yang berlaku saat ini memengaruhi alokasi portofolio kabinet secara signifikan. Laki-laki sebagian besar menduduki posisi kabinet yang menentukan prioritas nasional dan global, seperti pertahanan (87 persen), urusan keuangan dan fiskal (84 persen), dan urusan luar negeri (82 persen).
Persentase masing-masing posisi ini menjadi bukti nyata bahwa perempuan tidak mendapatkan ruang atau kuota yang setara, bahkan bisa dikatakan menjadi minoritas.
Tantangan-tantangan ini diperparah dengan menurunnya jumlah kementerian kesetaraan gender, yang merupakan lembaga kunci untuk menanamkan kesetaraan gender dalam kebijakan dan tindakan pemerintah.
Di tahun 2020, hanya terdapat 80 kementerian kesetaraan gender di berbagai negara. Jumlah tersebut menurun menjadi 76 pada tahun 2024 dan 75 di tahun 2025.
Oleh karena itu, UN Women menyerukan kepada pemerintah dan pemimpin politik di seluruh dunia untuk mengambil tindakan yang berani.
Termasuk mendesak melalui penunjukan eksekutif, penggunaan tindakan khusus sementara seperti kuota, dan perlindungan yang lebih kuat terhadap kekerasan politik terhadap perempuan.
"Partisipasi perempuan secara penuh, setara, dan bermakna dalam pengambilan keputusan bukan hanya masalah keadilan – hal itu penting untuk memenuhi janji-janji," tegas Sima Bahous.
Baca Juga: Dunia Minim Kepemimpinan Perempuan: Hanya 5 Presiden Perempuan Terpilih Sepanjang 2024
(*)