Parapuan.co - Pada 20 Mei 2025, Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Bareskrim Polri bersama Direktorat Siber Polda Metro Jaya menyatakan telah menangkap enam pelaku penyebar konten mesum dari sebuah grup Facebook yang membagikan materi pornografi inses. Grup tersebut membagikan konten fantasi hubungan seksual sedarah yang tidak hanya bertentangan dengan hukum, tapi juga melanggar norma agama, adat, dan berpotensi merusak kesehatan mental dan sosial masyarakat.
Melansir Kompas.com, enam pelaku yang ditangkap tersebar di wilayah Pulau Jawa dan Sumatera. Menurut Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko, para pelaku merupakan admin dan anggota aktif grup yang rutin mengunggah foto serta video seksual, termasuk yang melibatkan perempuan dan anak-anak di bawah umur. Barang bukti berupa perangkat digital dan dokumen pornografi juga telah diamankan.
Kepolisian menegaskan akan menindak tegas pelaku penyebaran konten pornografi, terlebih jika berkaitan dengan eksploitasi anak. Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri, Kombes Pol Erdi Adrimulan Chaniago menegaskan bahwa ini merupakan bagian dari komitmen Polri untuk melindungi masyarakat dari konten digital berbahaya.
"Polri akan terus menindak tegas setiap bentuk penyebaran konten pornografi, apalagi yang melibatkan anak sebagai korban. Ini bentuk komitmen kami dalam melindungi masyarakat, khususnya generasi muda, dari ancaman konten digital berbahaya," kata Kombes Pol Erdi Adrimulan, dilansir dari Antara via Kompas.com. Namun, pertanyaannya, apakah penangkapan ini cukup?
Bukan Hanya Masalah Pelaku, Tapi Sistem yang Longgar
Tindakan kepolisian dalam mengungkap dan menangkap pelaku patut diapresiasi. Namun, langkah ini baru satu dari sekian banyak tindakan yang seharusnya dilakukan untuk mengatasi konten seksual menyimpang di media sosial. Dunia digital bukan hanya dihuni oleh satu-dua grup penyimpang, melainkan lautan informasi yang bisa saja disalahgunakan oleh banyak pihak.
Jika hanya mengandalkan penangkapan individu tanpa memperkuat sistem pengawasan, maka upaya tersebut tak ubahnya seperti menambal lubang di kapal yang terus bocor.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) sendiri telah menegaskan bahwa grup-grup seperti ini merupakan bentuk kejahatan serius, terlebih yang melibatkan anak sebagai korban.
Pelaku bisa dijerat dengan berbagai undang-undang, termasuk UU ITE, UU Pornografi, dan UU Perlindungan Anak. Namun, penegakan hukum saja tidak bisa bekerja sendiri tanpa sistem pelaporan yang responsif dan pemantauan konten yang intensif.
Baca Juga: Ramai Grup FB 'Fantasi Sedarah', PR Baru Tangani Komunitas Melenceng di Media Sosial
Perlu Kolaborasi Menyeluruh
Penutupan grup semacam ini bukan hanya tanggung jawab penegak hukum, melainkan juga penyedia platform, dalam hal ini Facebook dan Meta. KemenPPPA sudah meminta Facebook untuk menutup grup tersebut dan mencegah terbentuknya kembali grup sejenis.
Sayangnya, selama platform digital belum memiliki sistem moderasi yang lebih ketat terhadap konten penyimpangan seksual, grup-grup seperti ini akan terus bermunculan dengan nama baru.
Maka itu, masyarakat pun memiliki peran penting. Masyarakat tidak bisa hanya menjadi penonton pasif. Ketika menjumpai grup, akun, atau situs yang menyebarkan konten menyimpang, langkah pelaporan seharusnya menjadi kebiasaan.
Laporan tersebut bisa ditujukan ke penyedia platform, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), atau bahkan aparat kepolisian. Kesadaran publik terhadap bahaya konten menyimpang, khususnya yang melibatkan anak, harus ditingkatkan melalui edukasi digital.
Butuh Upaya Kolektif Semua Pihak
Penangkapan admin grup "Fantasi Sedarah" hanyalah awal. Untuk benar-benar memberantas konten seksual menyimpang di media sosial, kita butuh lebih dari sekadar penegakan hukum. Diperlukan kolaborasi erat antara masyarakat, pemerintah, pembuat kebijakan, penyedia platform, dan aparat penegak hukum.
Dengan upaya kolektif, laporan masyarakat yang ditindaklanjuti secara cepat, sistem pelaporan yang transparan, serta komitmen penyedia platform dalam melakukan moderasi dan pencegahan, maka lingkungan digital yang aman, sehat, dan ramah anak bukan lagi sekadar utopia.
Sebaliknya, jika semua pihak hanya bergerak ketika kasus sudah viral, maka kita hanya akan terus berkutat pada solusi reaktif, bukan preventif.
Sudah saatnya pula bagi kita bertanya pada diri sendiri, "Apakah kita hanya ingin menghukum pelaku, atau kita juga ingin mencegah agar pelaku baru tak pernah muncul?"
Baca Juga: Komdigi Hapus 6 Grup FB Bermuatan Konten Negatif, Termasuk Fantasi Sedarah
(*)