Parapuan.co - Di tengah dunia yang serba cepat dan penuh tantangan, banyak orang tua terutama ibu, berusaha keras membesarkan anak-anak agar mampu bertahan secara sosial dan emosional.
Sayangnya, beberapa pola pengasuhan bisa membuat anak terbiasa merasa menjadi korban. Tanpa disadari, anak cenderung menyalahkan orang lain atas masalah yang mereka hadapi dan enggan melihat peran atau tanggung jawab diri sendiri dalam situasi tersebut.
Merangkum dari Your Tango, anak-anak yang tumbuh dengan mentalitas ini cenderung kesulitan mengatasi masalah yang mereka hadapi, enggan bertanggung jawab, bahkan mengembangkan ketangguhan emosional.
Bagi para ibu, penting untuk membentuk karakter anak agar tumbuh tangguh, mandiri, dan tidak terjebak dalam pola pikir sebagai korban. Kamu bisa lakukan 7 cara ini untuk menghindari victim mentality pada anak.
Biarkan Anak Mengalami Konsekuensi
Daripada selalu terburu-buru menyelamatkan anak akibat kesalahan mereka, orang tua perlu membiarkan anak menghadapi konsekuensi alami atas perbuatannya. Misalnya, jika anak lupa membawa PR ke sekolah, biarkan ia menerima teguran guru atau konsekuensi dari sekolah.
Situasi seperti ini adalah peluang belajar yang sangat berharga. Anak jadi memahami bahwa setiap tindakan memiliki dampak, dan belajar bahwa tanggung jawab pribadi adalah bagian dari hidup.
Saat anak merasakan langsung akibat dari tindakannya, anak-anak lebih mungkin mengingat pelajaran tersebut dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Ini juga membantu mereka membangun rasa percaya diri dalam mengambil keputusan, serta mengembangkan kemampuan untuk memecahkan masalah secara mandiri.
Mengakui Kesalahan sebagai Orang Tua
Baca Juga: Mengenal Apa Itu Democratic Parenting dan Penerapannya dalam Mengasuh Anak
Anak belajar banyak dari teladan yang mereka lihat setiap hari. Saat orang tua berani mengakui kesalahan dan meminta maaf, anak belajar bahwa tidak apa-apa untuk salah, asalkan kita mau bertanggung jawab dan memperbaikinya.
Sikap ini menunjukkan bahwa semua orang bisa melakukan kesalahan, termasuk orang dewasa, dan itu bukanlah aib. Hal ini akan menumbuhkan sikap rendah hati dan kemampuan untuk refleksi diri pada anak.
Selain itu, ketika orang tua minta maaf dengan tulus, anak juga merasa dihargai sebagai pribadi yang penting dalam keluarga, sehingga ikatan emosional pun semakin kuat.
Dengarkan Tanpa Langsung Memberi Solusi
Saat anak merasa sedih, kecewa, atau marah karena situasi tertentu, orang tua kerap tergoda untuk segera menawarkan solusi. Padahal, yang dibutuhkan anak pada momen seperti itu adalah didengarkan dan dimengerti.
Kamu bisa bertanya, "Menurut kamu, apa yang sebenarnya terjadi?" atau "Apa yang bisa kamu lakukan lain kali?"
Pertanyaan yang dilontarkan orang tua mendorong anak untuk berpikir sendiri, merefleksikan peristiwa, dan belajar dari pengalaman. Ini melatih anak untuk tidak langsung menyalahkan orang lain dan lebih peka terhadap cara ia merespons masalah. Anak pun menjadi lebih percaya diri dalam mengambil keputusan dan menyadari bahwa ia punya kendali atas hidupnya.
Ajarkan Anak Mengenali dan Mengelola Emosi
Baca Juga: Selain Selalu Menuruti Anak, Ini Ciri-Ciri Pola Asuh Strawberry Parenting
Anak-anak yang tidak mampu mengenali emosinya sering kali kesulitan mengelola reaksi mereka terhadap situasi menantang. Di sinilah pentingnya orang tua hadir untuk membantu anak mengenali, menerima, dan mengekspresikan perasaan secara sehat.
Ketika anak merasa marah atau kecewa, ajak ia menamai emosinya, lalu bantu mereka mencari cara untuk merespons secara positif. Misalnya, dengan mengambil napas dalam, menggambar, atau bercerita. Kemampuan ini tidak hanya membuat anak lebih tenang, tetapi juga membekalinya untuk berinteraksi dengan orang lain secara lebih empatik dan dewasa.
Konsisten dalam Aturan dan Konsekuensi
Disiplin yang sehat dibangun dari aturan jelas dan konsekuensi konsisten. Anak-anak perlu tahu bahwa setiap perbuatan ada akibatnya, dan orang tua akan tetap pada keputusan yang telah disepakati.
Misalnya, jika waktu bermain hanya sampai pukul 7 malam, maka tidak ada pengecualian. Konsistensi ini bukan hanya tentang membuat anak patuh, tetapi membantu mereka merasa aman karena tahu apa yang diharapkan dan apa akibatnya jika melanggar.
Konsistensi juga membentuk karakter yang bertanggung jawab dan tidak mudah mencari kambing hitam saat hal-hal tidak berjalan sesuai keinginan mereka.
Gunakan Bahasa yang Memberdayakan
Kata-kata yang digunakan orang tua sehari-hari punya dampak besar terhadap pola pikir anak. Kalimat seperti "hidup memang tidak adil" bisa membuat anak merasa tidak berdaya. Sebaliknya, katakan, "Apa yang bisa kamu pelajari dari kejadian ini?" atau "Kamu hebat karena sudah berani mencoba meskipun hasilnya belum sesuai harapan."
Bahasa seperti ini menanamkan pola pikir berkembang (growth mindset), yaitu keyakinan bahwa kemampuan bisa diasah dan tantangan adalah bagian dari proses belajar. Anak pun akan tumbuh dengan sikap positif terhadap kegagalan dan tidak mudah menyalahkan keadaan.
Baca Juga: Orang Tua Baru Bingung Menentukan Pola Asuh Anak yang Tepat, Lakukan Ini
Tunjukan Empati dan Kasih Sayang
Ketika anak mengalami kekecewaan, sangat penting menunjukkan empati, bukan sekadar merasa kasihan.
Empati berarti hadir sepenuhnya, mendengarkan, dan memahami perasaan anak, tanpa menjadikannya sebagai korban yang lemah.
Misalnya, jika anak tidak diajak bermain oleh temannya, alih-alih berkata, "Kasihan kamu," lebih baik katakan, "Aku tahu kamu sedih, itu wajar. Kita bisa cari cara untuk menghadapi perasaan ini."
Sikap empati membuat anak merasa dihargai dan dimengerti, sekaligus membantunya bangkit dan belajar dari pengalaman tanpa menyalahkan orang lain.
Mencegah mentalitas korban bukan hanya soal memperkuat anak, tapi juga mengubah pendekatan dalam pengasuhan. Dibutuhkan kesabaran, konsistensi, dan kesediaan untuk tumbuh bersama anak.
Dalam jangka panjang, anak-anak yang dibesarkan dengan cara ini akan tumbuh menjadi individu yang tidak hanya tangguh, tapi juga memiliki empati, tanggung jawab, dan kesiapan menghadapi dunia.
Sebagai ibu, kamu memiliki peran kunci dalam membentuk generasi yang tidak mudah tumbang oleh tantangan hidup.
Melalui pendekatan tepat, kamu tidak hanya membesarkan anak yang bahagia, tetapi juga anak yang siap menghadapi realitas kehidupan.
Baca Juga: 3 Kunci Penting dalam Membangun Kecerdasan Janin, Calon Ibu Harus Tahu
(*)
Celine Night