Dr.  Firman Kurniawan S.

Pemerhati budaya dan komunikasi digital, pendiri LITEROS.org, dan penulis buku Digital Dilemma

Amankah Perempuan dalam Penggunaan AI di Industri Perawatan Kulit?

Dr. Firman Kurniawan S. Selasa, 6 Mei 2025
Seberapa aman penggunaan AI dalam industri perawatan kecantikan bagi perempuan?
Seberapa aman penggunaan AI dalam industri perawatan kecantikan bagi perempuan? (Larysa Vdovychenko/Getty Images)

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.

Parapuan.co - Peluncuran teknologi bersasaran luas, lazim diikuti dorongan agar digunakan dengan antusias. Tujuannya, di waktu singkat teknologi diujicoba khalayak luas. Dan ketika ini tercapai, dapat mengembalikan modal pengembangan, biaya produksi, hingga memperoleh keuntungan. Terang tergambar saat ChatGPT-3.5 diluncurkan pada November 2022. Dalam waktu singkat, arus pembicaraannya ada di seputar perangkat ini. Menempatkan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan seakan puncak penemuan, dan ChatGPT adalah wujud AI paling sejati. Padahal yang benar: AI telah dikembangkan dan digunakan di berbagai bidang kehidupan, sejak tahun 1950-an. AI, sama sekali bukan barang baru.

Antusiasme menyambut peluncuran ChatGPT, berupa uji coba penyusunan prompt tanya jawab maupun perintah untuk menghasilkan karya. Ini diikuti kesibukan pengguna awam, institusi komersial, bahkan personal representasi perusahaan pengembang, di media sosial hingga konferensi internasional. Suasana yang dimunculkan: tak kenal ChatGPT, sama artinya dengan ketinggalan zaman. Stigma ini dapat mengganggu konsep diri.

Implikasi arus utama kegairahan ini, memunculkan fenomena AI washing. Fenomena yang dicirikan oleh promosi berlebihan penggunaan AI, pada produk yang dipasarkan. Fungsi AI yang menjanjikan pemecahan masalah sesuai data --ketika dilekatkan pada produk-- seakan menjanjikan: penyelesaian masalah dengan cara itu. Adanya masalah yang berbeda bagi orang yang berbeda, harusnya diikuti pilihan produk yang mampu menyelesaikan secara khas. Karenanya --mengandalkan janji itu-- produk bertanda ‘AI inside’ atau ‘AI support’, menjadi pilihan konsumen. Pilihan yang tanpa sadar, terjebak gimmick.

Emma Woollacott, 2024, dalam “What is 'AI Washing' and why is it a Problem?”, mengkonfirmasi merebaknya gimmick AI washing ini. Menurutnya terjadi peningkatan pesat klaim, bahwa perusahaan telah beroperasi berbasis AI. Namun realitasnya, perusahaan tetap menggunakan komputasi yang lama. Selain itu perusahaan melebih-lebihkan manfaat AI yang digunakannya dibandingkan praktik non-AI perusahaan lain. Perusahaan seakan melayani konsumen berbasis AI, padahal tidak. Dan yang tak kalah maraknya, dengan hanya memasang chatbot AI ke perangkat lunak operasi non-AI yang sudah ada.  Seluruhnya agar perusahaan tampak mengikuti perkembangan.

Persoalan dari gimmick di atas: munculnya harapan yang terlalu besar, yang dapat berujung pada kerugian. Kerugian yang tak hanya diderita konsumen, investor pun dapat mengalaminya. Sumber kerugian konsumen adalah harapannya yang terlambung oleh penggunaan AI pada produk yang dipilihnya. Produk dengan solusi canggih berbasis AI, tak tewujud. Seluruhnya menggerus kepercayaan pada perusahaan pemberi janji. Sedangkan kerugian investor, berupa pembayaran biaya teknologi yang mahal, namun gagal dikompensasi layanan berbasis AI.

Dalam hal fenomena AI washing, ada dua keadaan dasar yang perlu dipahami. Pertama, tak semua yang disebut otomatis berarti berbasis AI. AI memang memberi hasil otomatis, hampir tak melibatkan manusia. Namun otomatis oleh AI, didasarkan pada: input data, pengolahan data, penyusunan algorima. Ini diakhiri dengan penyajian hasil. Hasil yang disajikan khas: sesuai data yang dimasukkan dan informasi yang diminta.

Otomatisasi berbasis AI perlu data masif. Hasilnya berupa pengetahuan yang bersifat prediktif --aplikasi chat dapat memprediksi kata yang mengikuti kata lain yang telah diketikkan; rekomendasi solusi --pada permintaan saran menggunakan Chat GPT, dapat diminta rancangan tindakan; hingga tindakan aktual –sistem pengendali kendaraan otonom, dapat menempuh rute perjalanan yang terbaik. Manusia hanya mengetikkan prompt, untuk mengartikulasikan kehendaknya.

Sedangkan otomatis non-AI, terjadi oleh pemrograman. Sensor kamera keamanan rumah, diprogram untuk memotret obyek bergerak yang tertangkap sensor dan menyimpannya sebagai memori. Demikian pula portal penghalang gardu tol, terangkat ketika pada sensor diletakkan kartu yang berisi informasi sejumlah uang tertentu. Terangkatnya penghalang bukan lantaran pengubahan data menjadi algoritma yang menghasilkan tiindakan. Melainkan pemrograman untuk melakukan itu. Maka, yang otomatis tak selalu lantaran ada AI yang dilibatkan.

Kedua: ketika otomatisasi terjadi oleh teknologi berbasis AI, tak serta merta hasilnya dapat diterima pasti tanpa kecemasan. Aneka teknologi berbasis AI hari ini –bahkan yang hasilnya mengagumkan-- belum dipahami penuh, cara kerjanya. Termasuk oleh pengembangnya. Keadaan ini, sering disebut sebagai AI black box problem. Samir Rawashdeh, 2023, dalam “AI's Mysterious ‘Black Box’ Problem Explained”, mengilustrasikan: manusia dapat memiliki pengetahuan, tetapi tak pernah tahu cara atau proses pengetahuan itu terbentuk. Demikian pula pada AI, manusia tidak tahu bagaimana sistem deep learning sampai pada kesimpulannya. Sistem pembentukan pengetahuannya ‘kehilangan jejak’, bagaimana keputusan diambil. Sehingga tidak mampu melacaknya.

Baca Juga: Inklusi Gender: Penyetaraan Peran Perempuan dalam Artificial Intelligence

Beberapa fenomena mempertegas AI black box problem ini. Terungkap terutama ketika ada hasil meragukan yang diberikan AI. Penggunaan AI yang justru mendiskriminasi gender, ras, maupun kelompok sosial tertentu, setelah ditelusur ternyata komposisi datanya didominasi oleh karakteristik tertentu. Bias data, menyebabkan bias hasil. Demikian pula, ketika AI digunakan untuk mengalokasikan pengawasan di titik rawan kejahatan tertentu. Juga saat digunakan untuk mengelompokkan siswa dengan ciri tertentu, terhadap keberhasilannya meraih nilai ujian yang tinggi.

Saat rekomendasi AI diaplikasikan untuk dua keadaan di atas, ternyata gagal mencapai tujuannya. Di tempat yang ditandai ‘bakal terjadi’ kejahatan, justru tak terjadi. Kejahatan terjadi di tempat yang tak diprediksi. Demikian pula pada siswa yang memenuhi seluruh kriteria meraih nilai tinggi, ketika dievaluasi secara non-AI justru nilainya rendah. Sedangkan yang tak memenuhi kriteria, meraih keadaan sebaliknya. Penjelasannya, AI bekerja berdasar data yang sudah ada padanya. Rekomendasi berdasar sejarah data yang dipelajari machine learning (ML). Sehingga adanya data yang berubah, tak dikenali ML.

Hari ini ketika AI juga diandalkan pada berbagai aspek kehidupan --termasuk di industri perawatan kulit—kegunaannya sangat dirasakan industri maupun konsumen. Peran AI mulai dari prediksi produk perawatan kulit yang diminati konsumen, berdasar data pembelian sebelumnya. Juga rekomendasi produk yang dipersonalisasi, berdasar keadaan khas kulitnya. Ini bakal membedakan produk perawatan kulit yang sesuai: saat perempuan dilanda kegembiraan dengan ketika dalam ketaknyamanan periode menstruasi; dalam suasana formal vs nonformal; di ruang terbuka dibanding tertutup.

Dioperasikannya chatbot, memungkinkan konsultasi untuk semua keperluan itu. Bagi pelaku usaha ini menguntungkan. Tak perlu mempekerjakan personal di waktu dan tempat tertentu. Lewat chatbot berwujud aplikasi perangkat seluler, konsultasi perawatan kulit dapat diakses siapapun di manapun dalam waktu yang leluasa. Sedangkan konsumen diuntungkan oleh fleksibilitas layanan, sesuai ketersediaan waktu dan kebutuhannya.

Dalam perwujudan AI yang lain, robot formulator dapat digunakan untuk meramu berikut menyajikan produk perawatan kulit yang khas bagi masing-masing perempuan. Tentu didahului analisis keadaan kulitnya, menggunakan sensor robot formulator. Data keadaan kulit ini dibandingkan dengan data-data konsumen lain yang telah terbentuk algoritmanya. Ini digunakan untuk meramu produk yang khas, masing-masing konsumen. Tak ada lagi, satu produk untuk semua konsumen. Konsumen dibedakan, berdasarkan keadaan khasnya.

Namun demikian, ada pertanyaan yang layak diajukan: sudah aman sepenuhnyakah penggunaan AI di industri perawatan kulit, dalam keadaannya yang masih sering menghadapi AI blackbox problem? Memang urusan perawatan kulit bukan urusan perempuan belaka. Laki-laki pun harus tahu. Juga harus tahu keterbatasan yang diberikan AI.

Relevan dengan pertanyaan itu, Cassandra Stern, 2024, dalam “How Beauty Companies Can Mitigate Risks Associated with AI Technologies Use”, menyebutkan: konsumen dapat dirugikan ketika rekomendasi AI mengikuti hasil studi yang cacat atau berasal dari pengolahan data yang mengandung bias. Juga ketika rekomendasi formulasi produk yang disajikan, berdasar kesesuaian dengan konsumen sebelumnya. Artinya tanpa memasukkan keadaan baru dari konsumen yang beragam, ML hanya memformulasi produk berdasarkan data yang sudah diterimanya.

Formulasi produk berdasar data dari perempuan berkulit putih yang hidup di negara sub tropis, harusnya berbeda untuk perempuan berkulit putih yang hidup di negara tropis. Perbedaan tempat hidup di wilayah subtropis dengan tropis, harus diolah robot formulator saat meramu produk. Tanpa itu, produk tak optimal mencapai tujuannya. Makin tajam perbedaan yang tak diperhitungkan, makin fatal akibatnya.

Pengetahuan soal tak sempurnanya AI, perlu dimiliki perempuan. Terlebih saat penawaran produk sering dibalut gimmick. Kekaguman pada AI, tak lantas menutup ruang skeptis. Sebab ketika itu ditutup, terperdaya jadi risikonya. Tak elok sepertinya: percaya penuh pada teknologinya, yang hasilnya mungkin sesat.   

(*)

Baca Juga: Mengenal AI DeepSeek, Kecerdasan Buatan yang Disebut Saingan Berat ChatGPT