Makin Populer, Kenali Apa Itu Montessori School dan Bedanya dengan Sekolah Konvensional

Arintha Widya - Sabtu, 5 Agustus 2023
Ilustrasi apa itu montessori school dan bedanya dengan sekolah konvensional
Ilustrasi apa itu montessori school dan bedanya dengan sekolah konvensional freepik

Parapuan.co - Kawan Puan, belakangan ini Montessori School semakin populer di Indonesia.

Meski baru beberapa waktu ini populer di Tanah Air, rupanya Motessori School sudah dikenal di berbagai belahan dunia setidaknya satu dekade terakhir.

Apa sih sebenarnya Montessori School dan di mana letak perbedaannya dengan pendidikan konvensional pada umumnya?

Untuk mengetahuinya, simak serba-serbi Montessori School seperti merangkum dari New York Times berikut ini!

Apa Itu Montessori School

Montessori School adalah suatu pendekatan pendidikan yang dikembangkan oleh Maria Montessori, seorang dokter dan pendidik Italia pada awal abad ke-20.

Montessori School menekankan pada pembelajaran berdasarkan kebutuhan dan keinginan anak.

Pendekatan ini juga memberikan anak kebebasan untuk belajar dengan cara yang sesuai minat dan kemampuan mereka.

Karakteristik Kelas Montessori

Baca Juga: Persiapan Sekolah Tatap Muka, Begini Tips Ajarkan Anak Kerja Sama

Kelas Montessori biasanya berbeda dari pendekatan di sekolah konvensional seperti yang kita kenal.

Salah satu perbedaannya adalah anak-anak usia 3 hingga 6 tahun belajar di ruangan yang sama.

Hal ini dimaksudkan agar anak yang lebih muda dapat belajar dari yang lebih tua, dan anak-anak yang lebih besar dapat mengembangkan rasa kepemimpinan dan otoritas.

Ketika anak-anak mengikuti sekolah Montessori, mereka tetap didampingi guru yang sama selama tiga tahun.

Adapun karakteristik Montessori School antara lain meliputi hal-hal di bawah ini:

1. Montessori School menawarkan lingkungan yang terstruktur, rapi, dan dirancang dengan cermat untuk merangsang rasa ingin tahu anak-anak.

Kelas Montessori berisi berbagai alat dan bahan yang sesuai dengan perkembangan anak.

2. Guru dalam Montessori School berperan sebagai pengamat yang cermat untuk memahami minat dan perkembangan anak-anak secara individual.

Para pendidik memfasilitasi pembelajaran, tetapi tidak mengarahkan secara langsung proses belajar.

Baca Juga: 7 Ide Hadiah Menarik yang Bisa Diberikan untuk Menghargai Proses Belajar Anak

3. Anak-anak di Montessori School memiliki kebebasan untuk memilih aktivitas dan bahan belajar yang menarik minat mereka.

Pendekatan semacam ini rupanya mampu membantu memupuk motivasi intrinsik untuk belajar.

Perbedaan Montessori dengan Sekolah Konvensional

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan beberapa perbedaan Montessori School dengan sekolah konvensional antara lain:

1. Kelas Campuran

Seperti disinggung sebelumnya, Montessori School sering menggabungkan anak-anak dari berbagai usia dalam satu kelas.

Dengan begitu, anak yang lebih muda dapat belajar dari anak yang lebih tua.

Sementara anak yang lebih tua memiliki kesempatan untuk belajar mengambil peran sebagai pemimpin dan memberikan contoh.

2. Belajar Mandiri

Baca Juga: Cara Bantu Anak Kerjakan PR, Seberapa Jauh Kamu Harus Mengajarinya?

Dalam Montessori School, anak-anak didorong untuk belajar secara mandiri dengan mengikuti minat mereka.

Guru memberikan panduan dan mengarahkan, tapi anak memiliki kebebasan untuk mengeksplorasi topik sesuai keinginan mereka.

3. Fokus pada Proses

Sementara sistem konvensional menekankan hasil akhir dan penilaian, Montessori School lebih berfokus pada proses belajar.

Anak diajarkan untuk menikmati proses belajar dan mencapai kepuasan dari usaha mereka sendiri.

4. Penilaian Holistik

Evaluasi dalam Montessori School mencakup lebih dari sekedar tes dan kuis.

Guru mengamati perkembangan anak dalam berbagai aspek, seperti keterampilan sosial, kreativitas, dan kepercayaan diri.

Nah, Kawan Puan sudah paham gambaran besar mengenai pendekatan belajar Montessori School bukan? Tertarik menyekolahkan anak di Montessori School?

Baca Juga: Berapa Usia Ideal Anak Masuk SD? Ternyata Ini Waktu yang Tepat dari Aspek Fisik hingga Psikologis

(*)

Sumber: New York Times
Penulis:
Editor: Rizka Rachmania