Akan Didaftarkan Thailand ke UNESCO, Ini Sejarah Sarung di Indonesia

Citra Narada Putri - Selasa, 6 Juni 2023
Sejarah sarung.
Sejarah sarung. (Nikada/iStockphoto)

Makna di Balik Motif

Sarung bukan sekadar pakaian yang multifungsi dalam kehidupan sehari-hari. Bentuk dan corak sarung banyak bercerita tentang pemakainya atau komunitas asalnya.

Bahkan sarung juga bisa menunjukkan kelas sosial atau suku mana seseorang berasal, serta tingkat formalitas suatu acara.

Contohnya orang Melayu yang mengunakan sarung songket yang disulam dengan benang emas dan perak untuk upacara khusus seperti pernikahan.

Berbeda dengan budaya Sumba Timur, yang mana hanya para orang dengan gelar bangsawan saja yang diperbolehkan untuk memakai sarung dengan warna cerah dan kompleks. Untuk rakyat biasa hanya boleh memakai sarung dengan satu atau dua warna maupun pola polos saja.  

Sarung di Masa Penjajahan

Kendati demikian, sarung yang dijunjung tinggi oleh masyarakat asli Asia Tenggara, justru kehilangan kehormatan dan kemuliaan selama berlangsungnya periode kolonial. Hal ini dikarenakan administrator kolonial yang memandang rendah pakaian lokal sebagai inferior dan primitif.

Mereka kemudian memaksakan aturan berpakaian kaum terjajah untuk lebih menegakkan hegemoni budaya kolonial. 

Misalnya pada tahun 1872, Belanda memperkenalkan undang-undang di Hindia-Belanda yang mewajibkan setiap orang untuk mengenakan pakaian bangsa Eropa di tempat umum. Perempuan Belanda dan Eurasia pun dilarang mengenakan sarung di depan umum, karena menyiratkan bahwa mereka telah menjadi pribumi, yang cenderung rendah dan primitif.

Baca Juga: Aturan Penggunaan Kain Ulos Khas Batak, Bisa Dipakai sebagai Selendang hingga Rok

Meskipun sebagian besar orang Belanda menganggap sarung itu terbelakang dan merendahkan, beberapa perempuan Belanda justru masih saja memakainya di rumah.

Salah satu alasannya karena kain sarung dianggap sebagai pakaian yang fungsional, bisa memberikan kemudahan dalam bergerak dan lebih cocok dikenakan di daerah dengan iklim tropis. 

Namun, pada akhirnya para perempuan Eropa tetap berupaya membedakan diri mereka dari perempuan pribumi dengan membuat sarung mereka sendiri. Yaitu dengan menyematkan sarung berdesain batik yang dipengaruhi gaya Eropa, sehingga memberikan kesan mewah dan eksklusif.

Sarung yang dipengaruhi Eropa ini sangat diminati sebagai barang eksotik, bahkan hingga diekspor dan dijual di kota metropolitan kolonial, terutama pada masa-masa awal penjajahan.

Sarung di Era Modern

Walau sempat dilarang dipakai pada era kolonial, namun sarung masih jadi bagian dari budaya berpakaian masyarakat Indonesia hingga kini.

Bahkan sarung juga kerap diidentikan dengan pakaiannya para santri hingga saat ini. 

Era modern kini, makin banyak generasi muda yang turut terlibat aktif dalam pelestarian sarung sebagai pakaian tradisional khas Tanah Air. 

Misal saja seperti semakin banyaknya komunitas-komunitas yang turut membagikan cara menggunakan kain tradisional ini, sekaligus menyebarkan semangat kepada muda mudi lainnya untuk percaya diri dalam mengenakan sarung. 

Bahkan pada 3 Maret 2023 lalu, para komunitas pelestari kain tradisional turut memeriahkan Hari Sarung Nasional dengan mengadakan acara Sarung on The Street di Semarang, Jawa Tengah.  Dalam acara ini diadakan parade mode mengenakan sarung dengan aneka gaya dan motif oleh para muda mudi. 

Hal ini pun membuktikan bahwa sarung adalah bagian dari budaya Indonesia yang perlu dilestarikan dan dibanggakan. 

(*)

Baca Juga: Jelang Hari Ulos Nasional, Kenali Sejarah Ulos yang Punya Makna Sakral Bagi Suku Batak

Sumber: Kompas.com,National Geographic
Penulis:
Editor: Citra Narada Putri

Bedah Gaya Busana Rizky Febian dan Mahalini Saat Prosesi Akad Nikah