Dr.  Firman Kurniawan S.

Pemerhati budaya dan komunikasi digital, pendiri LITEROS.org, dan penulis buku Digital Dilemma

Memperjuangkan dan Meraih Ruang Aman Bagi Perempuan di Media Sosial

Dr. Firman Kurniawan S. Kamis, 23 Februari 2023
Media sosial punya banyak keuntungan, tapi masih belum bisa jadi ruang aman bagi perempuan. Apa yang bisa kita lakukan?
Media sosial punya banyak keuntungan, tapi masih belum bisa jadi ruang aman bagi perempuan. Apa yang bisa kita lakukan? BlackSalmon

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.

 

Parapuan.co - Perempuan yang sedang memperjuangkan kesetaraan gendernya, berutang pada kapitalisme.

Pernyataan yang sepintas mengandung paradoks ini, diungkap Manuel Castells, 2000, lewat bukunya The Rise of the Network Society.

Bagaimana tidak? Kapitalisme yang bisa melanggengkan dominasinya lewat nilai-nilai patriarki, justru menciptakan ruang perlawanan bagi perempuan.

Perlawanan ini terfasilitasi perangkat yang dirancang untuk mempertahankan kemampuan bersaingnya. Namun justru dimanfaatkan perempuan untuk melawan patriarki.

Feminisme melawan patriarkisme, dengan perangkat ciptaan patriarkis.

Dalam bukunya, perangkat-perangkat yang disebut Castells sebagai ‘mikroeletronik’ adalah komputer pribadi, fasilitas pengganda informasi, hingga gawai sarana komunikasi.

Seluruhnya terhubung dengan internet, dan hari ini, digunakan lewat platform media sosial.

Implikasi dari kehadiran seluruh perangkat itu adalah terciptanya keterhubungan masif, yang lalu mendorong lahirnya masyarakat baru: Network society.

Suatu masyarakat yang terhubung tanpa halangan kelas, perbedaan gender, maupun pertentangan ideologi.

Keterhubungan yang mampu melintasi batas geografi maupun administrasi negara.

Masyarakat ini berciri beda dari masyarakat sebelumnya, mass society.

Akibat masifnya keterhubungan, informasi dapat terkirim di waktu nyata, real time. Tersebar dari 1 titik di muka Bumi, ke titik terjauh di seberangnya.

Peristiwa gempa bumi di Turki, hilangnya pesawat komersial Susi Air di pedalaman Papua, terpilihnya Angela Merkel sebagai Kanselir Jerman, pelantikan Kamala Harris sebagai Wakil Presiden Amerika Serikat, hingga keluarnya Inggris dari Uni Eropa; semua dapat disaksikan secara real time.

Yang dibutuhkan hanya akses terhadap jaringan internet.

Demikian halnya dengan ide, gagasan, opini, mimpi, maupun pengalaman perempuan. Semua leluasa terekspresi lewat media sosial.

Gita Savitri yang dikenal sebagai seorang influencer, penyanyi, dan penulis buku, leluasa memanfaatkan Twitter untuk menguraikan pandangannya. Bahkan pandangan yang masih terasa asing: childfree.

Ide yang bukan pertama kali dilontarkan ini, kembali mengundang tanggapan luas, terpicu pengakuan Gita Savitri.

Entah merupakan tanggapan atas nyinyiran para netizen yang tak sepakat, Gita lalu mengaku awet muda lantaran tak terbebani keberadaan anak.

Pengakuan ini menciptakan perbincangan tak berkesudahan.

Terlepas dari pro-kontra yang muncul, di masa lalu ide semacam childfree beredarnya terbatas.

Ini lantaran tak ada perangkat keterhubungan (connectivity tools –red.) yang dapat digunakan untuk mengedarkan.

Hari ini lewat media sosial, hambatan itu tembus. Mampu mengisi ruang-ruang perbincangan ke segala arah.

Tercatat, tak kurang dari Wakil Presiden Ma’ruf Amin, turut melontarkan pendapat soal pandangan childfree.

Demikian juga dengan perempuan yang akrab dipanggil Bunda Corla.

Perempuan yang sekarang lebih sering bermukim di Jerman ini, kerap berbincang dengan penggemarnya lewat media sosial TikTok maupun IG Live.

Aneka material perbincangan yang tak seluruhnya penting, leluasa dipertukarkan.

Jutaan pemerhati yang sepandangan maupun berseberangan, memanfaatkan perangkat digital ini, membentuk interaksi.

Interaksi yang banyak melibatkan kalangan perempuan ini tak mudah terwujud di masa lalu. Kecuali melibatkan tokoh terkenal yang memperdengarkan pendapatnya, maupun tampilannya di media massa.

Baca Juga: Belajar Menciptakan Alternatif Virtual yang Nyaman Bagi Korban KDRT

Jiayu Liang, 2022, lewat penelitiannya yang berjudul Research on the Relationship Between Social Media and Gender Inequality, mengungkapkan tentang bagaimana perempuan diuntungkan oleh keberadaan media sosial.

Para perempuan dapat mengungkapkan diskriminasi gender yang dialami, ide tentang hak-hak reproduksi, pelecehan seksual yang meresahkannya, maupun berbagai perasaan tertekan lainnya lewat media sosial.

Tentu di antara yang diperbincangkan ini, termasuk ide-ide untuk mengikis nilai-nilai patriarki yang merugikan perempuan.

Lewat media sosial, perempuan juga dapat membentuk kelompok diskusi. Dilakukan dengan mengundang perempuan lain untuk berbicara, membantu, hingga memberdayakan perempuan yang mengalami berbagai kesulitan.

Perempuan penolong, maupun korban, bisa berkolaborasi memanfaatkan media sosial untuk keluar dari permasalahannya.

Baca Juga: Kekerasan pada Perempuan, 3 Cara Jadi Support System untuk Penyintas

Perempuan yang bersuara, juga mampu membangun kesadaran gender di tengah masyarakat.

Namun demikian, pada uraian Liang selanjutnya, di tengah keleluasaan perempuan melontarkan ide soal cita-cita kehidupan ideal yang dapat diwujudkan, banyak keadaan tak aman yang menghadang.

Perempuan yang memanfaatkan platform ini, tak ubahnya masuk ke ruang tak aman.

Bentuknya mulai stereotyping yang tak tepat tentang perempuan, hingga pembisuan suara perempuan di media sosial.

Mekanismenya sistematis. Terjadi lewat lontaran-lontaran yang melecehkan perempuan.

Tentu saja seluruhnya menyebabkan perempuan tak nyaman, bahkan mengalami gangguan konsep diri.

Pernyataan Jiayu Liang ini relevan dengan laporan Amnesty International, 2018, berjudul “Toxic Twitter – A Toxic Place for Women”. 

Dalam uraian lembaga ini disebutkan bahwa media sosial, dalam wujudnya Twitter, tak ubahnya sebagai ruang beracun bagi perempuan.

Baca Juga: Jadi Ruang Aman Perempuan, Ini Awal Cerita Berdirinya Podcast She Talks About

Pernyataan tersebut dihasilkan Amnesty International lewat penelitian yang dilakukan dalam kurun waktu 16 bulan terakhir. Dan itu diperkirakan terselenggara dalam periode tahun 2016-2017.

Penelitian berhasil mengungkap temuan-temuan kualitatif maupun kuantitatif, menyangkut pengalaman perempuan di platform media sosial.

Aktivitas yang khususnya dilakukan di Inggris dan Amerika Serikat ini, terutama menyangkut aspek skala, sifat, dan dampak kekerasan maupun pelecehan yang ditujukan pada perempuan di Twitter.

Bentuk pelecehan yang dimaksud antara lain, ancaman langsung atau tak langsung, kekerasan fisik atau seksual, pelecehan diskriminatif yang menargetkan satu atau lebih aspek identitas perempuan, pelecehan yang ditargetkan, dan pelanggaran privasi seperti doxing atau membagikan gambar seksual atau intim perempuan, tanpa persetujuannya.

Platform yang berslogan, “Setiap suara punya kekuatan untuk memengaruhi dunia” ini, pada kenyataannya benar-benar mampu memengaruhi dunia perempuan. Dalam bentuk pengaruh yang menyakitkan.

Akibatnya, alih-alih suara perjuangan perempuan dapat diperdengarkan lebih lantang di media sosial; perempuan justru menarik diri dari ruang publik digital.

Pelecehan dan kekerasan yang dialami membuat perempuan menyensor unggahannya sendiri.

Perempuan juga akhirnya membatasi interaksinya dengan pengguna yang lain, bahkan pergi tak untuk kembali, meninggalkan Twitter.

Perempuan dibisukan dari media sosial. 

Amnesty International selanjutnya mengecam platform yang oleh pemilikinya sekarang, Elon Musk, disebut sebagai alun-alun demokrasi dunia, dengan pernyataan keras.

“Twitter gagal memenuhi tanggung jawabnya untuk menghormati hak-hak perempuan secara online.

Gagal melakukan penyelidikan secara memadai dan menanggapi laporan kekerasan maupun pelecehan secara transparan.”

Dan tepat di saat perempuan di seluruh dunia terbangunkan harapannya dan menggunakan kekuatan kolektifnya untuk berbicara, Twitter tak mampu mengawal hak asasi manusia secara memadai dan gagal menangani kekerasan maupun pelecehan pada perempuan.

Perempuan masuk dalam budaya diam. Demikian lembaga internasional ini menyesalkan.

Baca Juga: Cyberbullying: Bahagia dan Sedih Tetap Dicerca, Harus Stop Bermedsos?

Namun, nampaknya Twitter bukan platform media sosial terburuk, yang gagal melindungi perempuan dari berbagai keadaan toxic.

Merujuk pada laporan Plan International di tahun 2020, Reza Pahlevi dalam tulisannya “Pelecehan Perempuan di Twitter Lebih Rendah Dibanding Media Sosial Lain” (2022), justru menyebut Facebook sebagai tempat perempuan paling sering mengalami pelecehan.

Angka Facebook mencapai 39%. Ini kemudian diikuti Instagram 23%, WhatsApp 14%, Snapchat 10%, Twitter 9% dan Tiktok 6%.

Plan International melakukan penelitiannya terhadap 14.000 perempuan. Rentang usia respondennya 15-25 tahun, dan tersebar di berbagai negara seperti Brasil, Amerika Serikat, dan India.

Melawan dan mengakhiri pelecehan perempuan, sehingga ditemukan ruang aman di media sosial, bukan perkara mudah. 

Pelecehan tampil dalam wujudnya dengan spektrum sangat samar hingga terang-terangan.

Beberapa di antaranya tak disadari. Dianggap hiburan yang lazim. Tak selalu diterima sebagai keadaan yang melecehkan perempuan.

Stereotyping perempuan yang hanya dapat ditenangkan dari kemarahannya dengan disodori setumpuk uang.

Atau perempuan yang memberi izin pasangannya melakukan aktivitas apapun di luar rumah, asal dirinya mendapat imbalan uang yang banyak.

Unggahan semacam itu sangat mudah ditemukan di media sosial, dan sering dianggap kelucuan belaka.

Jika perempuan tak tersinggung, tentu maksudnya karena tak ingin hal itu dianggap sebagai material yang perlu diributkan.

Namun yang mengkhawatirkan adalah jika hal seperti di atas lalu tak dianggap sebagai pelecehan yang serius.

Karenanya, baik unggahan yang melecehkan maupun pembisuan diri, janganlah dilanggengkan.

Yang juga menyesakkan adalah saat perempuan menceritakan kekerasan maupun pelecehan yang dialami di media sosial, mereka justru dipojokkkan. Bahkan oleh sesama perempuan.

Baca Juga: Perempuan dan Perannya Menjamin Kualitas dan Kenyamanan Jagat Digital

Media sosial sebagai ruang tak aman dan beracun, nyata adanya.

Upaya meminta pertolongan justru jatuh pada upaya isolasi dan pelecehan. Keadaan inilah yang harus dikikis.

Sebagaimana ruang publik analog yang harus terjamin keamanannya bagi siapapun, media sosial juga demikian.

Perempuan yang terjepit di ruang publik analog, tak seharusnya kembali dipojokkan di ruang publik digital.

Sebagian upaya perlindungannya ditentukan perempuan sendiri, sebagai pejuangnya. Namun semua pihak harus turut terlibat.

Kawan Puan, perlawanan pada keadaan tak aman di ruang-ruang media sosial, mutlak bagi siapa pun. Termasuk bagimu, perempuan. (*)