Kekerasan Seksual Juga Terjadi di Ranah Media, Perusahaan Perlu Tanggap dalam Bersikap

Rizka Rachmania - Kamis, 10 November 2022
Kasus kekerasan seksual juga terjadi di ranah media, perusahaan perlu memiliki kebijakan dan sikap tegas.
Kasus kekerasan seksual juga terjadi di ranah media, perusahaan perlu memiliki kebijakan dan sikap tegas. Freepik

Parapuan.co - Kekerasan seksual, terlebih pada perempuan saat ini masih terjadi, termasuk di ranah media.

Kekerasan seksual bisa terjadi pada siapa saja, termasuk pekerja media di mana mirisnya pelaku adalah sesama pekerja di tempat tersebut.

Contohnya adalah kasus kekerasan seksual yang dialami oleh seorang perempuan pekerja media pada tahun 2016.

Mona Ervita, pendamping korban sekaligus anggota LBH Pers dalam acara Mengungkap Kasus Kekerasan Seksual di Perusahaan Media yang diselenggarakan secara daring pada hari Rabu, (9/11/2022) menceritakan kisah tersebut.

Mona pada saat itu menjadi pendamping korban kekerasan seksual di salah satu media yang terjadi pada tahun 2016.

Menurut penuturan Mona seperti yang diceritakan oleh korban kepadanya, korban mengalami kekerasan seksual dari salah seorang teman kerjanya di media tersebut.

Korban telah meminta tolong pada atasannya untuk menindak kasus kekerasan seksual yang ia alami dari rekan kerjanya.

Namun, atasan di perusahaan media tempat korban bekerja tidak melakukan tindak tegas atas kasus kekerasan seksual yang terjadi padanya.

"Pada saat itu juga bentuk kekerasannya adalah ada percobaan pemerkosaan dan juga pelecehan seksual yang dimana terduga pelakunya adalah sama pekerja. Tapi ada dugaan si terduga pelaku ini memiliki kedekatan dengan atasan korban," cerita Mona.

Baca Juga: Kasus Kembali Viral, Ini Kronologi Kekerasan Seksual Pegawai Kemenkop UKM

 Korban kemudian menghubungi LBH Pers untuk meminta tolong mengadvokasi kasus kekerasan seksual yang ia dapat dari rekan kerjanya di kantor.

Korban melakukan hal tersebut karena tidak ada tindak lanjut dari atasannya di kantor atas kasus kekerasan seksual tersebut.

"Namun pada saat itu, apa alasannya si korban ini, atasan tidak menanggapi kasusnya," cerita Mona.

LBH Pers pun mencoba membantu korban mengadvokasi kasus kekerasan seksual yang terjadi padanya.

Menurut penuturan Mona, pada saat itu alat bukti dugaan kekerasan seksual sudah ditemukan, namun saat dikonfirmasi ke terduga pelaku, ia mengaku bahwa tidak tahu apa yang dilakukannya itu termasuk tindak kekerasan seksual.

"Dalih terduga adalah ia tidak tahu kalau perkataan yang diucapkan oleh terduga pelaku ini merupakan bentuk kekerasan seksual," tutur Mona.

Mona pun menekankan bahwa dari pengalamannya ini, penting untuk mengetahui bahwa tidak semua orang tahu bentuk kekerasan seksual itu apa.

Misalnya orang yang mengatakan hanya bercanda, tidak tahu tindakannya itu bisa menyinggung orang lain, padahal sudah menjurus ke kekerasan seksual.

Baca Juga: Mengenal Bentuk Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik Menurut UU TPKS

"Ini menjadi tantangan berat selain kami mendapatkan bukti yang signifikan sekali di situ, ada pengakuan pelaku juga, tapi dia tidak tahu kalau itu bentuk kekerasan seksual sehingga pada saat itu dia meminta maaf kepada korban," ucap Mona.

Mona kemudian menyoroti pentingnya perusahaan media memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) atau peraturan yang dipakai ketika ada kasus kekerasan seksual. SOP ini bisa dipakai untuk penanganan dan pencegahan kekerasan seksual.

"SOP ini untuk ketika terjadinya kasus seperti tadi, penyelesaiannya itu sudah ada jalurnya, sudah ada mekanismenya, terus juga perlindungan korban, penindakan pelaku seperti apa," ujar Mona.

"Nah, itu jadi dari pihak manajemen atau pimpinan redaksi itu tidak khawatir ketika dia menangani kasus kekerasan seksual," tambahnya.

Senada dengan Mona, Kustiah Hasim dari Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual menyoroti pentingnya perusahaan media memiliki SOP dan peraturan tegas terkait kekerasan seksual.

"Kalau terkait kekerasan seksual ini perlu juga aturan khusus yang di dalamnya mengatur barang siapa misalkan jurnalis yang melakukan tindakan kekerasan seksual, ya, dia sanksinya bisa pecat," ucap Kustiah.

Kustiah juga mengatakan bahwa peraturan khusus ini sama pentingnya seperti kode etik jurnalistik yang mengatur atau jadi pedoman jurnalis dalam membuat karya jurnalistik.

"Kalau kode etik jurnalistik mengatur pada karya-karya jurnalistik, kalau ini pada perilakunya, kode perilakunya," ucapnya.

Tak hanya itu Kustiah juga mengatakan pentingnya zero tolerance atau nol toleransi terhadap pelaku kekerasan seksual di perusahaan media tanpa memandang status, jabatan, maupun karyanya.

Pasalnya jika toleransi atau pengecualian masih diberikan pada pelaku kekerasan seksual maka siapapun yang turut andil dalam pemberian toleransi itu sama artinya tidak berpihak pada korban.

Kustiah pun menyoroti pentingnya SOP di perusahaan media untuk penanganan sekaligus pencegahan kasus kekerasan seksual.

"SOP harus punya, ada satgas juga penting. Jadi ketika ada korban bisa langsung ditangani," ucapnya.

Kustiah juga menyarankan bagi kantor perusahaan media untuk menyediakan ruang aman bagi seluruh pekerjanya, misalnya dengan akomodasi malam hari untuk jurnalis yang sedang meliput acara.

Ruang aman ini harapannya bisa memberikan ruang aman bagi pekerja media ketika menjalankan tugas hariannya.

Baca Juga: Mengenal 5 Metode Intervensi Kekerasan Seksual di Tempat Umum

(*)

Penulis:
Editor: Rizka Rachmania