Regenerasi Perajin Batik Menurun, Sudah Siap dengan Ancaman Serius yang Mungkin Terjadi?

Citra Narada Putri - Senin, 3 Oktober 2022
Penurunan regenerasi perajin batik.
Penurunan regenerasi perajin batik. arttikstockphoto/iStockphoto

Tuntutan Ekonomi dan Gengsi

Hal tersebut dirasakan oleh Putri Merdekawati, pemilik dari Batik Warna Alam Si Putri, yang berasal dari Semarang. Menurutnya, karena berkurangnya pemasukan saat pandemi, membuat perajin-perajin batik juga ikut menurun. “Perajin lepasan menurun dari sebelum pandemi. Jadi mereka ada yang alih profesi, jadi mereka cari kerjaan lain. Itu juga ada yang cari kerja yang menurut mereka lebih menjanjikan. Jadi sekarang saya sudah tidak bekerja sama dengan perajin batik lepasan, hanya perajin in-house,” ceritanya.

Saat ini, Putri bekerja sama dengan perajin batik in-house yang usianya sudah 40 tahun ke atas. Mereka berasal dari warga lokal di Semarang, Pekalongan, Wonogiri hingga Kendal.

Kesulitan melakukan regenerasi perajin batik terasa semakin berat bagi Putri, mengingat proses produksi yang dilakukannya menggunakan metode ramah lingkungan. Batik Warna Alam Si Putri menggunakan pewarna-pewarna alami, yang juga membutuhkan proses sangat panjang dan dengan tingkat kesulitan yang lebih rumit. “Terutama lagi seperti aku yang menggunakan warna alam. Dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi dan tekniknya yang lebih lama, jadi terkadang kalau perajinnya tidak sabar yah ditinggalkan,” cerita Putri. 

Ada banyak faktor yang melatarbelakangi kesulitannya melakukan regenerasi perajin batik. Diceritakan oleh Putri, bahwa anggapan kuno pada perajin-perajin batik membuat sejumlah generasi muda enggan meneruskan pekerjaan orang tua atau keluarga mereka. “Jadi kaya anggapan kuno, terus juga tawaran bekerja lain yang menurut mereka lebih prestisius, pakai seragam, kaya orang kantoran,” keluhnya. 

Tak hanya soal gengsi, sudut pandang soal ‘sukses secara instan’, menurut Putri juga menjadi penyebab para generasi muda lebih memilih profesi yang lain. “Tapi kan untuk membuat (batik) itu lama yah, nah sebenarnya mereka bisa aja (membatik). Tapi mereka pilih jadi content creator yang hasilnya cepat, instan. Budaya habit instan itu juga berpengaruh. Jadi mereka lebih suka dapat sesuatu yang besar dan cepat,” jelas Putri lagi. 

Selain Putri, keluhan akan sulitnya menemukan perajin-perajin batik muda juga disampaikan oleh Nancy Margried, Co-founder dan CEO Batik Fractal. Sebagai informasi, Batik Fractal adalah tekstil batik modern buatan tangan yang terbuat dari perpaduan antara seni tradisional dan teknologi software jBatik untuk membuat pola batik terbaru. Batik Fractal bekerja sama dengan empat rumah batik dari Solo, Pekalongan, hingga Cirebon yang mempekerjakan perajin-perajin batik di daerah masing-masing. 

Berdasarkan kisah Nancy, ia kerap menerima keluhan dari para partnernya bahwa ada penurunan perajin batik dari generasi muda. “Itu memang menurun. Karena pekerjaan membatik ini kan labour intensive. Pekerjaan tangan. Jadi mereka (generasi muda) kayaknya ada kecenderungan untuk memilih bekerja di perusahaan besar, instead of ngebatik di rumah batik,” ceritanya. 

Salah satu alasannya adalah karena kini semakin banyak kehadiran pabrik-pabrik garmen di kampung-kampung batik. Sehingga ini menjadi magnet bagi generasi muda untuk menaruh nasib pekerjaannya di pabrik-pabrik besar.

Baca Juga: Hari Batik Nasional, Ini 5 Rekomendasi Fashion Item Sentuhan Batik yang Modis

BERITA TERPOPULER FASHION & BEAUTY: Kebaya Bali Mahalini hingga Jam Tangan Kim Soo Hyun