Menengok Hukum Aborsi di Indonesia, Sudahkah Menyejahterakan Perempuan?

Linda Fitria - Kamis, 28 Juli 2022
Hukum Aborsi di Indonesia
Hukum Aborsi di Indonesia Rasi Bhadramani

Parapuan.co - Kasus aborsi di Indonesia menjadi polemik lama yang hingga kini belum tertangani dengan baik.

Pasalnya, masih banyak kasus aborsi ilegal yang terjadi dan tentu saja tidak tercatat dalam data yang valid.

Di antara banyaknya kasus aborsi tersebut, ada banyak aborsi yang terjadi akibat perkosaan atau kekerasan seksual pada perempuan.

Memang, tindakan aborsi dilarang di negara Indonesia. Para pelakunya pun bisa dipidana jika terbukti melakukan tindakan aborsi baik dokter maupun pasiennya sendiri.

Namun, bagaimana jika ini menyangkut para korban perkosaan?

Bagaimana Indonesia mengatur hukum aborsi untuk mereka para korban?

Hukum Aborsi di Indonesia

Di Indonesia, hukum aborsi diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.

Tertera dalam Pasal 75 ayat (1) dan (2) UU Kesehatan di mana aborsi sendiri adalah sesuatu yang dilarang oleh setiap orang.

Baca Juga: Komnas Perempuan Dorong Transparansi dalam Pembahasan RUU KUHP

Aborsi bisa dibedakan menjadi 2 jenis yakni:

- Aborsi yang diperbolehkan: Abortus provocatus therapeuticus, yaitu kehamilan yang diakhiri secara sengaja dari luar yang dilakukan oleh dokter untuk menolong nyawa ibu atas kehamilannya yang membahayakan.

- Aborsi yang termasuk tindak pidana: Abortus provocatus criminalis, yaitu tindakan pengguguran janin yang disengaja dan melawan hukum. Maksud melawan hukum adalah tidak termasuk unsur pengecualian dalam Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan.

Pengecualian aborsi yang diatur dalam Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan sendiri ialah:

a) Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan.

b) Kehamilan akibat pemerkosaan yang menyebabkan trauma psikis bagi korban pemerkosa.

Dua kondisi itu membuat aborsi menjadi tindakan yang legal dilakukan dan diperbolehkan asal melewati beberapa konseling dengan pihak yang kompeten.

Sehingga, para korban pemerkosaan boleh melakukan aborsi dan berhak untuk dapat mengakses layanan aborsi secara aman.

Sayangnya, meski telah diatur dalam Undang-Undang Kesehatan, aborsi bagi para korban pemerkosaan bukanlah hal yang mudah mereka peroleh.

 Baca Juga: Perkosaan Dihilangkan dalam Draft RUU TPKS April 2022, Ini Usulan LBH APIK Jakarta

Masih banyak lubang dalam pelaksanaan aborsi aman bagi para korban pemerkosaan dan kekerasan seksual lain.

Hal itu terbukti dari beberapa kasus yang terjadi pada para korban perkosaan.

Seperti yang tercatat dalam siaran pers Komnas Perempuan menyambut Hari Aborsi Aman Internasional tahun 2021 lalu.

Dalam data, tercatat beberapa kasus kriminalisasi pada korban perkosaan, seperti yang terjadi di Jambi tahun 2018.

Di mana seorang anak perempuan 15 tahun yang diperkosa kakaknya justru dijatuhi hukuman 6 bulan oleh pengadilan karena melakukan aborsi.

Tentu kejadian tersebut bertolak belakang dengan hukum UU Kesehatan yang ada.

Karenanya, Komnas Perempuan sendiri secara tegas menyebut hukum aborsi di Indonesia masih belum menyejahterakan perempuan.

Belum Menyejahterakan Perempuan

Dalam wawancaranya bersama PARAPUAN, Komisioner Komnas Perempuan, Retty Ratnawati menyampaikan beberapa poin terkait hukum aborsi di Indonesia.

Baca Juga: Ramai Kasus NWR, Ahli Pidana Sebut UU Perkosaan Masih Merugikan Korban

Menurut Komnas Perempuan, pemerintah masih belum memberikan fasilitas kesehatan penyedia layanan aborsi yang aman khusus untuk korban perkosaan.

"Kekurangan hukum dalam menghadapi kasus aborsi adalah belum disertai penunjukan tempat layanan kesehatan oleh negara/Kemenkes," jelas Retty.

Kurangnya pengetahuan reproduksi yang membuat korban baru tahu dirinya hamil juga menjadi faktor lain akhirnya hukum aborsi tidak berjalan dengan baik.

"Juga hambatan psikologis dan kultural yang menyebabkan korban tidak langsung menceritakan kekerasan seksual yang dialaminya,"

"Minimnya pengetahuan kesehatan reproduksi perempuan yang baru mengetahui kehamilannya setelah kehamilan besar dan tidak segera diberikannya pil kopdar maksimal seminggu paska terjadinya kekerasan seksual," imbuhnya.

Hal itu membuat aborsi legal sulit dilakukan, apalagi dalam peraturan aborsi hanya diperbolehkan jika kandungan masih berusia 6 minggu kehamilan.

"Jangka waktu hanya 6 minggu kehamilan. Hal ini tidak cukup karena perkosaan baru dilaporkan lebih dari 6 minggu," terang Retty.

Hal itu tentu menjadi polemik baru karena akhirnya banyak korban memilih untuk menggugurkan kandungannya ke tempat-tempat aborsi yang jelas ilegal dan tidak aman.

Kedua, masalah yang Komnas Perempuan soroti adalah tidak adanya kejelasan lembaga yang memfasilitasi aborsi.

Baca Juga: Ramai Kasus NWR Diusut Dugaan Pemerkosaan, Ini Penjelasan UU Perkosaan

"Tidak jelas siapa lembaga yang akan melaksanakan aborsi aman, tidak jelas siapa yang membiayai," imbuhnya.

Atas alasan-alasan itulah Komnas Perempuan menyebut pelaksanaan hukum aborsi di Indonesia belum menyejahterakan perempuan.

Pelaksanaan aborsi aman yang ideal nyatanya masih sulit dilakukan karena di lapangan proses ini melibatkan banyak stake holder.

(*)

Penulis:
Editor: Linda Fitria