Sisters in Danger Inisiasi Gerakan Sosial Dapur Keliling untuk Bantu Sesama, Berawal dari Dampak Pandemi

Ardela Nabila - Senin, 23 Mei 2022
Sisters in Danger.
Sisters in Danger. Dok. Sisters in Danger

Parapuan.co - Pandemi Covid-19 selama dua tahun tidak menghentikan band indie Sisters in Danger untuk tetap aktif bergerak di berbagai isu sosial.

Seperti diketahui, selama pandemi banyak musisi yang terpaksa vakum karena tak bisa tampil dan bermusik di panggung, tak terkecuali Sisters in Danger.

Sisters in Danger merupakan band indie beranggotakan lima orang yang memanfaatkan musik untuk mengkampanyekan berbagai isu sosial, terutama isu perempuan.

Terbentuk sejak November 2016, lima personelnya antara lain M. Berkah Gamulya (player sekaligus manajer, personel band Simponi), Qoqo (gitaris, personel band SHE), Arnie (bassist, personel band SHE), Titi Joe (vocalist, Jalanan the Movie), dan Ahmad Satria Landika (keyboardist, finalis Indonesia’s Got Talent).

Belum lama ini, PARAPUAN berkesempatan untuk berbincang secara virtual dengan dua perwakilan Sisters in Danger, yakni M. Berkah Gamulya atau Mulya dan Arnie.

Keduanya bercerita bagaimana pandemi Covid-19 telah berdampak pada keberlangsungan band yang terpaksa harus menghentikan aktivitasnya untuk memberikan edukasi seputar isu sosial.

Kendati demikian, band yang pernah memenangkan kompetisi internasional Unite Song Contest itu tetap aktif di gerakan sosial untuk membantu sesama.

Ya, sejak awal pandemi Covid-19, Sisters in Danger bersama dengan relawan menginisiasi gerakan untuk membantu rakyat, khususnya buruh gendong perempuan di Yogyakarta.

Tergerak bantu buruh gendong perempuan di Yogyakarta

Baca Juga: Inspiratif, Ini Cerita Band Indie Sisters in Danger Suarakan Isu Sosial Lewat Musik

Pada awalnya, Mulya yang baru pindah ke Yogyakarta berkenalan dengan seorang buruh gendong perempuan di sebuah pasar tradisional.

Buruh gendong perempuan merupakan sekelompok perempuan, ibu-ibu hingga lansia, yang menjual jasa untuk mengangkut barang di pasar tradisional tanpa standar tarif, sehingga penghasilan hariannya tidak menentu.

Melihat keadaan sulit para buruh gendong perempuan di Yogyakarta akibat pandemi, ia pun berinisiatif membuat gerakan sosial bernama Dapur Umum Buruh Gendong Perempuan.

“Karena kebetulan di Yogya aku buka rumah makan, jadi ada peralatan dan ada tempat, tinggal cari relawan yang bisa masak, nah kami memang menentukan mau memberi ke orang yang sama, ke ibu-ibu karena sisters. Lagi-lagi ini solidaritas sisters,” cerita Mulya kepada PARAPUAN.

Alih-alih membantu secara acak, menurut Mulya, membantu kelompok tertentu secara berulang dapat memberikan dampak yang lebih besar, khususnya secara psikologis.

“Jadi kalau orang yang sama dapat bantuan terus, secara psikologis dia terbantu. Berapapun penghasilan mereka saat ini, tapi mereka sudah tahu pasti jam 11.30 siang, makan siang gratis pasti ada,” terangnya.

“Itu saja sudah membantu membuat orang tenang, bisa memprediksi bahwa mereka bisa menghemat pengeluarannya yang tidak pasti,” sambung Mulya.

Selama satu tahun lima bulan membantu para buruh gendong melalui Dapur Umum Buruh Gendong Perempuan, Sisters in Danger telah memberikan sebanyak 67 ribu porsi makanan.

Dana untuk membuat makanan sendiri didapat dari penggalangan dana yang dilakukan oleh Sisters in Danger dan para relawan melalui berbagai platform.

Baca Juga: Sempat Dilarang, Ini Perjuangan Voice of Baceprot Wujudkan Mimpi Jadi Band Metal Internasional

Walaupun selama pandemi Sisters in Danger tak bisa berkumpul, namun masing-masing personel memanfaatkan platform media sosialnya untuk mendapatkan donasi.

“Kami menggunakan akun medsos kami, platform kami, jaringan kami, untuk menggalang dana, relawan, dan informasi mengenai buruh gendong perempuan,” imbuh Mulya.

Informasi buruh gendong juga tak lupa disertakan dalam setiap penggalangan dana, pasalnya masih banyak yang belum tahu mengenai pekerjaan ini.

“Karena banyak yang masih belum tahu tentang itu, bahkan orang Yogya sekalipun. Jadi kami menggunakan akun medsos kami untuk membantu sesama,” tambahnya.

Kini berganti nama menjadi Dapur Keliling

Setelah pasar tradisional kembali beroperasi normal dan para buruh gendong perempuan kembali mendapatkan penghasilan yang stabil, Dapur Umum Buruh Gendong Perempuan kini berganti nama menjadi Dapur Keliling.

Lewat Dapur Keliling, Sisters in Danger tetap ingin berbagi dan membantu kelompok lainnya, namun tak menutup kemungkinan untuk tetap membantu para buruh gendong perempuan.

Seperti namanya, konsep Dapur Keliling ialah memberikan bantuan berupa makanan dengan cara keliling ke berbagai area.

Baca Juga: Suarakan Rasisme, The Linda Lindas Ingin Orang Tak Merasa Sendiri

Melalui inisiatif ini, Sisters in Danger tetap aktif menebar kebaikan meskipun belum bisa kembali berkampanye untuk menyuarakan isu sosial lewat bermusik.

“Dua tahun pandemi musiknya sempat berhenti, tapi tetap melakukan kegiatan sosial yang lainnya. Jadi melakukan apa yang kami bisalah,” ungkap Mulya.

Ia kemudian juga mengatakan bahwa para personel lainnya turut terlibat di berbagai kegiatan yang ada di lingkungan tempat tinggal masing-masing, masih dengan tujuan bersolidaritas.

“Arnie di Bandung juga ikut (gerakan sosial), ada komunitas musisi mengaji, ada kegiatan sosial, macam-macam. Jadi kami juga selama pandemi tiap personel juga punya kegiatan masing-masing yang intinya solidaritas, membantu sesama dalam bentuk apapun,” tutup Mulya. (*)