Review Film Yuni, Perempuan dan Mimpi di Tengah Belenggu Sistem Patriarki

Alessandra Langit - Sabtu, 11 Desember 2021
Review film Yuni karya sutradara Kamila Andini yang sedang tayang di bioskop
Review film Yuni karya sutradara Kamila Andini yang sedang tayang di bioskop Fourcolours Films

Parapuan.co - Sutradara Kamila Andini membawa segelintir isu perempuan ke dalam sebuah film berdurasi 120 menit berjudul Yuni.

Ditulis oleh Kamila Andini sendiri dan Prima Rusdi, Yuni adalah sebuah kisah tentang perempuan remaja bernama Yuni (Arawinda Kirana) yang sedang dalam kebimbangan.

Masalah akademis, Yuni punya potensi dan ambisi untuk mendapatkan beasiswa dan kembali melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi.

Sayangnya, tekanan sosial dan lingkungan masyarakat yang patriarki di sekitarnya membuat Yuni berada di persimpangan.

Ia harus memilih antara mengikuti tradisi untuk menikah atau tetap mengejar mimpinya.

Keraguan Yuni juga didorong dengan perasaan tersesat ketika berbicara tentang masa depan, namun setiap remaja juga pasti merasakan hal yang sama.

Baca Juga: Tayang di Bioskop, 5 Fakta Menarik Film Yuni yang Dibintangi Arawinda Kirana

PARAPUAN berkesempatan untuk menyaksikan film Yuni pada acara Special Screening Yuni di kawasan Kuningan, Jakarta, pada Senin (6/11/2021).

Yuni adalah film feminis yang lantang namun tidak bising, penonton tidak menemukan jargon-jargon isu yang membuat film terasa seperti kampanye.

Kisah karakter Yuni diceritakan secara sederhana, namun setiap bingkai dan adegan menyadarkan penonton bahwa isu perempuan ini nyata di Indonesia.

Yuni adalah puisi, seperti gagasan dan narasi film ini yang memang sengaja mengangkat karya-karya penyair Sapardi Djoko Damono.

Kamila Andini dengan apik merangkai lagi bait demi bait lewat gambaran kehidupan yang manis dengan banyak pesan pilu di balik setiap katanya.

Kisah ini seperti puisi Hujan di Bulan Juni karya Sapardi yang menceritakan tentang rintik hujan yang jatuh di musim kemarau.

Yuni pun dipaksa menjadi dewasa di waktu yang seharusnya ia merasakan kebebasan sebagai perempuan remaja.

Kisah Yuni dan geng pertemanannya adalah gambaran nyata perempuan muda yang tumbuh di daerah pinggiran dan suaranya tak pernah terdengar.

Akses informasi yang terbatas, kepercayaan akan mitos yang kuat, membuat perempuan di daerah tidak tahu bahwa mereka memiliki pilihan.

Baca Juga: Belajar dari Film Yuni, Ini Risiko Kehamilan di Usia Remaja pada Bayi

Pernikahan anak di bawah umur yang menjadi isu yang disoroti dalam film ini merupakan beban sistem patriarki yang dilimpahkan kepada perempuan.

Mengatasnamakan martabat keluarga dan kesucian perempuan, pernikahan datang sebagai penyelamatan yang transaksional.

Secara halus, film ini menunjukkan realita bahwa perempuan masih dilihat seperti barang yang dapat diperjualbelikan di lingkungan masyarakat Indonesia.

Dibukanya film ini dengan tes keperawanan sendiri pun sudah menyoroti tentang betapa masyarakat Indonesia masih melihat harga diri perempuan terletak pada label "kesucian".

"Kesucian" tersebut pun dinilai dengan tolak ukur yang dibuat oleh sistem patriarki.

Film ini menangkap isu keperawanan yang juga menjadi "nilai jual"perempuan di masyarakat.

Hal itu terlihat dari harta yang rela diberikan seorang laki-laki jika Yuni masih perawan saat malam pertama pernikahan.

Tak hanya isu secara garis besar, representasi perempuan dari segala latar belakang pun tersuarakan dengan berdaya.

Karakter perempuan dalam film ini memiliki kendali akan hidupnya yang sayangnya harus dipatahkan dengan sistem sosial yang membuat setiap dari mereka terpojokkan.

Satu per satu karakter perempuan masuk ke dalam kehidupan Yuni dengan membawa beban kehidupan yang mereka harus pikul.

Baca Juga: Berani dan Punya Kendali, Ini 5 Karakter Perempuan Berdaya di Film Yuni

Di bawah tekanan sistem patriarki, mereka tidak terlihat lemah dan menunggu datangnya laki-laki sebagai bantuan atau penyelamat, seperti kebanyakan karakter perempuan di film.

Ada keberanian untuk menentukan pilihan dan menerima pilihan karena terjebak dalam kondisi yang tidak mampu mereka lawan.

Mengingat lagi, kebanyakan karakter perempuan juga merupakan remaja di bawah umur.

Salah satu karakter yang kuat adalah sosok Suci Cute (Asmara Abigail) dengan dialog khasnya, "Freedom abis!"

Suci adalah representasi perempuan yang mencari kebebasan dan pilihan untuk mengendalikan hidupnya sendiri.

 

Suci yang sudah terlebih dahulu merasakan pahitnya rumah tangga non konsensual pun mengenalkan pilihan untuk bebas kepada Yuni.

Begitu juga dengan Ibu Lies (Marissa Anita), yang punya kendali penuh akan mimpinya untuk melanjutkan pendidikan.

Ia menunjukkan kepada Yuni bahwa perempuan punya pilihan lain selain menikah di usia muda.

Merasa aman dan memiliki pilihan atas hidupnya adalah hak perempuan sebagai manusia.

 

Baca Juga: Seperti di Film Yuni, Apa Risiko Hamil di Bawah Usia 20 Tahun bagi Ibu?

Yuni adalah suara perempuan Indonesia yang tetap lantang, walaupun bertahun-tahun menghadapi ketidakadilan yang tak kunjung tuntas.

Yuni adalah perempuan Indonesia yang secara terus menerus dipaksa sistem untuk menjadi kuat di saat seharusnya perempuan bisa merasa bebas dan aman sebagai manusia.

Seperti puisi Sapardi Djoko Damono yang menjadi narasi film ini, "Tak ada yang lebih tabah dari hujan di bulan Juni." 

(*)

Penulis:
Editor: Linda Fitria