Awas, Ini Efek Toksik Membuat Branding Keluarga di Tempat Kerja

Ardela Nabila - Sabtu, 27 November 2021
Efek toksik branding keluarga di tempat kerja.
Efek toksik branding keluarga di tempat kerja. AndreyPopov

Parapuan.co - Bagi karyawan yang bekerja dari kantor, kamu mungkin menghabiskan lebih banyak waktu sehari-hari di tempat kerja bersama rekan kerja.

Kerap kali, budaya dan hubungan dengan orang kantor yang dibangun di tempat kerja disalahartikan konteksnya sebagai hubungan ‘keluarga’.

Bahkan, sampai saat ini pun banyak perusahaan yang membuat branding keluarga di tempat kerja.

Kamu mungkin juga pernah menemukan lowongan atau perusahaan yang menjelaskan budaya lingkungan kerjanya dengan membawa kata ‘keluarga’.

Padahal, membuat branding keluarga memiliki efek yang toksik, lho, Kawan Puan.

Baca Juga: 5 Cara Wanita Karir Membangun Personal Branding di Media Sosial

Walaupun beberapa aspek dalam budaya kekeluargaan, seperti rasa hormat, empati, saling peduli, dan rasa memiliki, bisa menambah nilai, ternyata mereka memiliki efek yang lebih berbahaya.

Memangnya, apa saja efek toksik dari branding keluarga di lingkungan kerja?

Melansir Harvard Business Review, berikut ini sejumlah efek toksik branding keluarga yang tak jarang digunakan oleh banyak perusahaan.

1. Tidak ada batasan antara kehidupan pribadi dan profesional

Pertama-tama, kita harus memahami bahwa setiap orang memiliki arti ‘keluarga’ yang berbeda-beda.

Perusahaan harus tahu bahwa tidak semua orang ingin terlibat lebih dalam dengan rekan kerja mereka.

Dalam konteks profesional, seorang karyawan tentunya akan ingin menyimpan rincian kehidupan pribadi mereka di luar pekerjaan.

Ketika perusahaan membuat branding tempat kerja sebagai ‘keluarga’, maka hal tersebut menciptakan budaya positif dan memotivasi.

Anggapan 'keluarga' pun akan membuat karyawan menjadi merasa terikat secara emosional dengan perusahaan.

Meskipun terdengar baik karena bisa mengurangi konflik dan pertentangan dalam perusahaan, namun karyawan akan merasa takut serta tegang dengan atasan mereka.

Akibatnya, mereka merasa harus selalu membagikan informasi apa apun yang diminta oleh atasan yang memiliki posisi lebih kuat.

Di samping itu, perusahaan yang membuat branding keluarga sering kali merasa tidak percaya dengan karyawan tersebut.

Baca Juga: Penting! Ini Panduan Jurnalis dalam Memberitakan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan

2. Rasa loyalitas yang berlebihan

Dalam ranah keluarga sesungguhnya, ketika salah satu anggota keluarga membutuhkan sesuatu, maka kita akan dengan senang hati membantunya, kan?

Saat konsep tersebut diaplikasikan di tempat kerja, loyalitas akan disalahartikan sebagai bentuk harapan untuk melakukan dan menyelesaikan pekerjaan apa pun yang diminta.

Berbagai contoh dan penelitian mengungkap bahwa orang dengan rasa loyalitas berlebihan akan melakukan apa pun untuk mempertahankan pekerjaan mereka.

Selain itu, mereka juga lebih mungkin untuk dieksploitasi oleh atasan atau perusahaan tempat mereka bekerja.

Sebagai contoh, mereka diminta untuk bekerja dalam jangka waktu yang tidak masuk akal atau mengerjakan proyek yang tidak sesuai dengan posisi mereka.

Ketika karyawan bekerja di bawah mentalitas ini, secara perlahan mereka akan mengalami penurunan kinerja dan produktivitas akibat kelelahan.

3. Dinamika kekuasaan tercipta, karyawan merasa dimanfaatkan

Terakhir, jika kamu mempromosikan budaya keluarga di tempat kerja, kamu perlu ingat bahwa tidak semua orang memiliki hubungan yang baik dengan keluarganya.

Akibatnya, dinamika tersebut akan membuatnya merasa tidak berdaya untuk membela diri dan melakukan pekerjaan yang berada di luar zona nyaman mereka.

Masalah lain juga bisa muncul saat kamu harus membiarkan seseorang pergi atau memberikan feedback membangun kepada rekan kerja.

Baca Juga: Ternyata Profesi Guru juga Punya Jenjang Karier, Ini Penjelasannya!

Dalam budaya ‘keluarga’, semua itu akan terasa personal. Maka dari itu, perusahaan perlu tahu bahwa hubungan karyawan dan perusahaan hanya bersifat sementara.

Pada titik tertentu, hubungan tersebut akan berakhir. Sebaliknya, dengan membuat branding keluarga, maka secara tidak sadar akan menciptakan kiasan bahwa ikatan antara keduanya bertahan selamanya.

Adapun efek toksik branding keluarga di tempat kerja lainnya adalah kamu akan merasa kesulitan melapor ketika melihat perilaku terlarang rekan kerja.

Itulah beberapa efek toksik yang secara tidak sadar bisa terjadi ketika perusahaan memberikan branding keluarga di lingkungan kerja. (*)