Gejala Seseorang Mengalami Kekerasan pada Perempuan secara Emosional

Putri Mayla - Rabu, 17 November 2021
Kekerasan pada perempuan secara fisik.
Kekerasan pada perempuan secara fisik. Pekic

Parapuan.co - Kekerasan pada perempuan ada berbagai jenis, salah satunya kekerasan secara emosional.

Walaupun menyadari kekerasan secara emosional bisa menjadi sulit, namun ada hal yang bisa dilakukan untuk mengenali bentuk kekerasan ini.

Kerap kali kekerasan ini sangat membingungkan bagi penyintas.

Sulit untuk menentukan apakah seseorang dilecehkan secara emosional adalah kenyataan bahwa banyak orang tidak tahu bagaimana syarat disebutnya pelecehan emosional. 

Ketika kebanyakan orang memikirkan pelecehan emosional, mereka biasanya memikirkan salah satu atau kedua pasangan yang meremehkan atau mengkritik yang lain. 

Namun pelecehan emosional lebih dari sekadar pelecehan verbal, seperti dilansir dari Psychology Today.

Baca Juga: Kekerasan pada Perempuan yang Terjadi di Masa Anak-anak Berpengaruh pada Otak

Secara luas, kekerasan pada perempuan secara emosional dapat berarti perilaku non-fisik.

Perlaku non-fisik yang bertujuan mengontrol, mengintimidasi, menundukkan, merendahkan, menghukum atau mengisolasi orang lain melalui penggunaan degradasi, penghinaan, atau ketakutan.

Pelecehan emosional dapat mencakup serangan verbal, dominasi, kontrol, isolasi, ejekan, gaslighting, pemerasan emosional, atau penggunaan pengetahuan intim untuk degradasi.

Ini menargetkan kesejahteraan emosional dan psikologis korban, dan sering kali merupakan awal dari kekerasan fisik.

Selain itu, pelecehan terhadap perempuan secara emosional bisa dalam bentuk pencucian otak yang secara perlahan mengikis rasa harga diri, kepercayaan diri , keamanan, dan kepercayaan korban pada diri sendiri dan orang lain.

 

Tidak seperti kekerasan fisik, kekerasan pada perempuan secara emosional bisa berbahaya dan sulit dipahami.

Hal ini perlahan-lahan menghancurkan rasa diri dan nilai pribadi seseorang.

Terkadang, kekerasan ini tidak terlihat mengganggu, tetapi kemudian kejadian ini dapat membuat bingung penyintas.

Penyintas dapat mengantisipasi kapan kekerasan secara emosional datang dan bisa lebih sensitif.

Di sisi lain, terkadang pelecehan emosional dapat terjadi secara tiba-tiba.

Baca Juga: Akibat Kekerasan pada Perempuan, Ini Gejala dan Dampak Trauma Bonding

Perilaku kasar emosional mulai dari pelecehan verbal (meremehkan, mencaci maki, kritik terus-menerus) hingga taktik yang lebih halus seperti intimidasi, dan manipulasi. 

Secara umum dapat berupa mengisolasi perilaku, silent treatment, merendahkan, dan lain-lain.

Rasa malu adalah hambatan besar untuk mengenali kamu sedang dilecehkan secara emosional.

Seperti apa gejala pelecehan secara emosional?

Pelecehan terhadap perempuan secara emosional dapat memiliki gejala berikut.

Salah satu cara paling penting untuk menentukan pelecehan emosional adalah dengan mulai memperhatikan keadaan mental dan emosional diri. 

Berikut beberapa gejala yang bisa dirasakan penyintas:

- Kebingungan yang konstan atau luar biasa

- Kesulitan berkonsentrasi dan/atau kesulitan membuat keputusan

- Merasa “tidak seimbang” atau sering mengalami disorientasi

- Depresi (kekurangan energi, perasaan malapetaka yang akan datang, tidak dapat menemukan kegembiraan atau kesenangan dalam hidup, sering menangis)

Baca Juga: Kekerasan pada Perempuan Bisa Sebabkan Trauma Bonding, Apa itu?

- Perasaan putus asa dan putus asa

- Kecemasan

Hal ini juga dapat berdampak pada masalah kesehatan, misalnya stres kronis seperti tekanan darah tinggi, detak jantung yang cepat, ketegangan otot dan nyeri.

Beberapa peneliti yang masih dilansir via PsychologyToday berteori bahwa pelecehan emosional dapat berkontribusi pada sindrom kelelahan dan fibromyalgia.

Sementara beberapa gejala ini juga bisa umum terjadi pada kondisi dan situasi lain, mengetahui kombinasi gejala secara keseluruhan menjadi yang penting.

Dengan mengetahui gejala kekerasan pada perempuan secara emosional, penyintas dapat meminta bantuan atau mengetahui apa yang harus dilakukan selanjutnya. (*)

Sumber: psychology today
Penulis:
Editor: Arintya