Kekerasan pada Perempuan Bisa Sebabkan Trauma Bonding, Apa itu?

Putri Mayla - Minggu, 14 November 2021
Kekerasan pada perempuan dapat menyebabkan trauma bonding. Korban sulit lepas dari pelaku kekerasan.
Kekerasan pada perempuan dapat menyebabkan trauma bonding. Korban sulit lepas dari pelaku kekerasan. martin-dm

Situasi trauma bonding

Masih melansir Verywellmind, trauma bonding dapat terjadi dalam situasi pelecehan apa pun, tidak peduli berapa lama atau pendeknya waktu itu berlangsung.

Kemungkinan besar terjadi dalam situasi di mana pelaku membuat titik mengungkapkan cinta kepada orang yang mereka aniaya.

Kemudian, mereka bertindak seolah-olah pelecehan tidak akan terjadi lagi.

Kombinasi pelecehan dan penguatan positif itulah yang menciptakan trauma bonding atau perasaan yang dilecehkan bahwa pelaku tidak semuanya buruk.

Ada beragam jenis situasi kasar di mana trauma bonding dapat terjadi, dan keterikatan emosional sering terjadi dalam situasi kasar.

Mereka tidak perlu malu, karena hasil dari otak kita mencari metode bertahan hidup.

Ini disebut sebagai keterikatan paradoks, fenomena ini dapat terjadi karena berbagai situasi.

Baca Juga: Penyintas Kekerasan pada Perempuan Dapat Mengalami PTSD, Apa itu?

Berikut di antaranya yang paling umum:

  • Kekerasan dalam rumah tangga
  • Inses
  • Penculikan
  • Pelecehan seksual
  • Sekte
  • Pelecehan orang tua
  • Perdagangan manusia

Mungkin sulit untuk memahami bagaimana seseorang dalam situasi yang mengerikan seperti salah satu di atas dapat memiliki perasaan cinta, ketergantungan, atau kepedulian terhadap orang atau orang-orang yang menyiksanya.

Trauma bonding terbentuk dari kebutuhan dasar manusia akan keterikatan sebagai sarana untuk bertahan hidup.

Dari sana, seorang korban pelecehan dapat menjadi tergantung pada pelakunya.

Tambahkan dalam siklus di mana pelaku berjanji untuk tidak mengulangi pelecehan dan mendapatkan kepercayaan korban berulang kali.

Trauma bonding akibat kekerasan pada perempuan dapat mengakibatkan korban memiliki self-esteem rendah, kecemasan, hingga depresi.

(*)

Sumber: verywellmind
Penulis:
Editor: Rizka Rachmania