Tak Hanya Kartini, 4 Pahlawan Perempuan Ini Berjasa Bagi Indonesia

Firdhayanti - Selasa, 17 Agustus 2021
Ilustrasi tokoh perempuan Indonesia, Rasuna Said, yang berperan dalam Kemerdekaan.
Ilustrasi tokoh perempuan Indonesia, Rasuna Said, yang berperan dalam Kemerdekaan. Kompas.id

Parapuan.co – Tak hanya laki-laki, perempuan juga turut berperan dalam Kemerdekaan Indonesia.

Memang, para perempuan hebat ini bukan berjuang langsung di medan perang.

Akan tetapi, jasanya dapat membuat perubahan besar bagi Indonesia. Para perempuan ini punya peran dalam Kemerdekaan.

Baca Juga: Melihat Jejak dan Kendali Perempuan Memperjuangkan Mimpi dari Masa ke Masa

Membicarakan pahlawan perempuan yang tidak terjun ke medan perang, di kepala kita akan terlintas sosok Raden Ajeng Kartini. 

Tak cuma Kartini, ternyata masih banyak perempuan lain yang begitu berjasa lho, Kawan Puan. 

Dari Kompas.com, ini dia empat pahlawan perempuan Indonesia yang punya peran dalam Kemerdekaan meski tidak terjun langsung di medan perang.

1. Dewi Sartika

Dewi Sartika
Dewi Sartika Kompas.com

Raden Dewi Sartika berperan memperjuangkan hak-hak pribumi di bidang pendidikan. 

Lahir di Bandung pada 4 Desember 1884, Dewi Sartika punya bakat mengajar. 

Papan bilik, kandang kereta, serta pecahan genteng dimanfaatkannya untuk mengajarkan ilmu pengetahuan pada pribumi. 

Bagi perempuan, Dewi Sartika juga mengajarkan beberapa keterampilan, seperti merenda, memasak, menjahit, membaca, dan menulis. 

Ia pun mendirikan Sakola Istri pada 1904 di ruang pendopo Kabupaten Bandung dengan dibantu dua orang saudaranya. 

Sekolahnya berkembang pesat, sehingga menjadi nama Sakola Kautamaan Istri dan membuat organisasi Kautamaan Istri di Tasikmalaya.

Kemudian, pada 1929 berganti lagi menjadi nama Sekolah Raden Dewi.

2. Ruhana Kuddus

Ruhana Kuddus, Jurnalis Perempuan Pertama Indonesia
Ruhana Kuddus, Jurnalis Perempuan Pertama Indonesia KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo

Ruhana Kuddus merupakan jurnalis perempuan pertama sekaligus pendiri surat kabar perempuan pertama di Indonesia, Soenting Melajoe.

Ruhana berjuang melalui tulisan-tulisannya yang terbit di koran perempuan Poetri Hindia.

Sampai akhirnya, pada 1912, ia mendirikan surat kabar perempuan Soenting Melajoe pada 1912.

Baca Juga: Perjalanan Fatmawati Soekarno dalam Kemerdekaan Republik Indonesia

Tulisannya kerap mengkritik budaya patriarki yang saat itu begitu kental di Sumatra Barat, seperti nikah paksa, pendidikan yang hanya untuk laki-laki, poligami, dan masih banyak lagi. 

Ia masih memiliki pengaruh kuat di dunia pers selepas meninggalkan Soenting Melajoe. 

Ketika pindah ke Medan pada 1920, Ruhana mengelola surat kabar Perempoean Bergerak bersama jurnalis tersohor setempat, Pardede Harahap.

Kemudian, Ruhana memutuskan untuk pindah kembali ke tanah kelahirannya di Sumatra Barat dan mengajar di sekolah Vereeniging Studiefonds Minangkabau (VSM) Fort de Kock (Bukittingi) sambil terus menulis. 

3. Rasuna Said

Rasuna Said
Rasuna Said Kompas.id

Rasuna Said merupakan pahlawan perempuan Indonesia di ranah politik. 

Ia berperan sebagai propagandis yang mengkritik pemerintah kolonial Belanda. 

Rasuna lahir di Desa Panyinggahan, Maninjau, Agam, Sumatera Barat pada 14 September 1910. 

Baca Juga: Sambut HUT RI, Ini 4 Novel Sastra Indonesia yang Ceritakan Sejarah dan Budaya Bangsa

Ayahnya, Muhammad Said adalah seorang aktivis yang cukup terpandang di masyarakat Minang. 

Rasuna menempuh pendidikan di sekolah agama Islam. Ia belajar di pesantren Ar-Rasyidiyah selepas lulus sekolah dasar dan menjadi satu-satunya santri perempuan. 

Pada usia 16 tahun, Rasuna Said berkecimpung di ranah poitik dengan menjadi sekretaris organisasi Sarekat Rakyat cabang Sumatera Barat pada tahun 1926.

Dalam aktivitasnya sebagai propagandis, Rasuna kerap berorasi di hadapan publik yang mengkritik pemerintah kolonial Belanda.

Pada tahun 1932 ketika Rapat Umum PERMI di Payakumbuh, aparat datang dan menangkap Rasuna saat ia sedang berpidato. 

Kemudian dipenjara selama 14 bulan dengan dakwaan ujaran kebencian. 

Sampai Indonesia merdeka, Rusuna Said terus berkecimpung di dunia politik.

4. Opu Daeng Risadju

Opu Daeng Risadju.
Opu Daeng Risadju. Kompas.com

Perempuan yang memiliki nama asli Famajjah ini lahir pada 1880 di Palopo, Sulawesi Selatan.

Famajjah merupakan anak dari pasangan Muhammad Abdullah To Baresseng dan ibunya Opu Daeng Mawellu yang merupakan keturunan bangsawan Luwu.

Belanda berhasil menguasai Kerajaan Luwu pada tahun 1905. 

Baca Juga: Ikut Perang Lawan Belanda di Usia 17 Tahun, Ini Kisah Martha Christina Tiahahu

Opu Daeng dan suaminya pun menetap di Pare-Pare dan meninggalkan Palopo. 

Ia pun aktif sebagai anggota Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII).

Opu Daeng Risadju mendirikan cabang PSII di Palopo pada 14 Januari 1930 sekembalinya dia dari Pare-Pare. 

Ia kemudian memperluas perjuangannya dan menimbulkan kekhawatiran bagi pemerintah Belanda dan Kerajaan Luwu.

Hal yang dilakukan Opu Daeng ini begitu membahayakan Belanda. 

Ia dituduh melakukan tindakan provokasi rakyat untuk melawan pemerintah kolonial dan dipenjara selama 13 bulan.

Opu Daeng Risadju tercatat sebagai wanita pertama yang dipenjarakan oleh Pemerintah kolonial Belanda dengan alasan politik.

Ia berkali-kali menerima hukuman kejam dari Belanda karena perlawanannya. Di usia yang tak lagi muda, ia dipaksa berjalan kaki ke Watampone yang berjarak 40 kilometer.

Opu Daeng bahkan sampai tuli seumur hidup karena siksaan yang ia terima.

Pada 10 Februari 1964, ia meninggal dunia dan dimakamkan di Perkuburan Raja-Raja Lokkoe di Palopo. (*)

Sumber: Kompas.com
Penulis:
Editor: Rizka Rachmania