Pelaku Pemerkosaan Anak Divonis Bebas, Ini Mengapa RUU PKS Penting untuk Disahkan

Alessandra Langit - Jumat, 11 Juni 2021
Ilustrasi Pelanggaran Hak Anak
Ilustrasi Pelanggaran Hak Anak Tinnakorn Jorruang

Parapuan.co - Kekerasan seksual kembali terjadi di Indonesia.

Kali ini, seorang anak perempuan di Aceh menjadi korban pemerkosaan yang dilakukan oleh ayahnya sendiri (MA) serta pamannya (DA).

Sayangnya, hukum tidak berlaku adil terhadap korban yang masih di bawah umum tersebut.

Majelis Hakim Mahkamah Syariah Kabupaten Aceh Besar dan Mahkamah Syariah Aceh menjatuhkan vonis bebas terhadap dua pelaku pemerkosaan tersebut.

Padahal sebelumnya, Kejaksaan Negeri Aceh Besar telah menuntut kedua pelaku dengan hukuman 16,5 tahun penjara.

Melansir dari Kompas.com, Soraya Kamaruzzaman selaku Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh menemukan adanya beberapa kejanggalan terkait keputusan hakim ketika menelaah keputusan dari tingkat pertama. 

Baca Juga: Sikap Koalisi Children Protection Malang Atas Dugaan Kasus Kekerasan Seksual di Sekolah SPI Batu

Hakim tidak menjadikan video kesaksian anak selaku korban sebagai alat bukti.

Hakim mengabaikan video tersebut dengan alasan karena korban bukan tunarungu, tetapi hanya bisa mengangguk dan menggeleng saat menjawab pertanyaan.

"Kami melihat, dalam hal ini membuktikan bahwa hakim tidak punya perspektif anak sebagai korban dalam mengkaji persoalan ini. 

“Tentu kasus ini harus dilihat berbeda walaupun sebelumnya anak yang ceria bisa bersosialisasi dengan baik, namun pengalaman trauma tentu tidak akan membuat dia kembali seperti semula dalam waktu yang singkat," ungkap Soraya.

Soraya juga menjelaskan kejanggalan lain yaitu hakim tidak menganggap hasil visum sebagai bukti karena pelaku pemerkosaan tidak dapat dibuktikan lewat hasil visum.

Balai Syura Ureung Inong Aceh menyatakan bahwa dalam penanganan kasus perkosaan terhadap anak ini, hakim menggunakan Qanun Jinayat sebagai landasan hukum.

Qanun Jinayat adalah landasan hukum dengan dasar agama yang diterapkan di Aceh.

Namun, landasan hukum ini sedari dulu dianggap tidak pernah memihak kepada perempuan dan korban kekerasan seksual.

Kasus ini menjadi pengingat bahwa Indonesia membutuhkan undang-undang yang melindungi korban kekerasan seksual seperti korban pemerkosaan.

Baca Juga: Gofar Hilman Kena Kasus Pelecehan Seksual, Selebriti dan Sahabat Berpihak pada Korban

Perlindungan tersebut sudah diatur dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).

Namun sampai saat ini, RUU PKS belum juga disahkan padahal sudah diusulkan oleh Komnas Perempuan sejak tahun 2012.

Banyaknya kasus kekerasan seksual harusnya membuat pengesahan RUU PKS dipercepat, tapi pada kenyataan selama proses pengesahan RUU PKS, banyak pihak yang menemukan hambatan, sehingga sampai saat ini belum terwujud.

Sebelumnya tindak kekerasan seksual hanya mencakup pemerkosaan dan pencabulan, namun dalam RUU PKS, tindak kekerasan seksual lebih meluas dan detail.

Melansir dari Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, kekerasan seksual diklasifikasikan menjadi sembilan jenis tindakan.

Tindakan tersebut meliputi pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.

Dalam kasus pemerkosaan anak, korban dan saksi mendapatkan perlindungan sepenuhnya, sehingga tidak ada ancaman lagi bagi korban dan saksi kekerasan seksual.

Pada Pasal 33 Ayat (1) butir e, dalam hal korban adalah anak, maka anggota keluarga atau orang tua tetap memiliki hak asuh terhadap anak tersebut, kecuali jika pelaku adalah keluarga sendiri, maka haknya dicabut melalui putusan pengadilan.

Seperti kasus pemerkosaan anak di Aceh, selain hukuman yang akan memihak pada korban pemerkosaan, korban juga berhak untuk tidak tinggal, berhubungan, dan memutus ikatan dengan keluarga yang melakukan tindak kekerasan seksual.

Korban sepenuhnya akan dilindungi dan didampingi dalam pemulihan oleh kementerian terkait.

Baca Juga: Mengenal Morphing, Pelecehan Seksual Online yang Dialami Citra Kirana

Korban juga berhak mendapat bantuan ekonomi dari pemerintah jika harus memutuskan ikatan dengan keluarga pencari nafkah yang adalah pelaku kekerasan seksual.

Adanya RUU PKS dapat memberatkan pelaku dan memberi hukuman yang sepantasnya tanpa meremehkan bukti yang ada.

Selain itu, korban mendapat perlindungan sepenuhnya dan pemulihan trauma, terutama bagi korban anak-anak seperti kasus di Aceh.

Kawan Puan, kita dapat mendukung pengesahan RUU PKS segera dengan terus ikut bersuara, seperti di media sosial, sampai adanya dukungan dari lembaga pemerintahan terkait. (*)