Pemerintah China Keluarkan Kebijakan Punya Tiga Anak, Sebagian Warga Menolak

Firdhayanti - Rabu, 2 Juni 2021
Kebijakan punya tiga anak yang diumumkan pemerintahan China tak disambut baik sebagian warganya.
Kebijakan punya tiga anak yang diumumkan pemerintahan China tak disambut baik sebagian warganya. Gilles Sabrié

Parapuan.co - Baru-baru ini, pemerintah China mengumumkan bahwa warganya boleh memiliki tiga anak. 

Namun, kebijakan tersebut tidak disambut baik oleh warganya. 

Melansir New York Times, beberapa kalangan dan generasi tak setuju dengan kebijakan tiga anak ini. 

Baca Juga: Dinilai Normalisasi Perkawinan Anak, KOMPAKS Kecam Sinetron Suara Hati Istri di Indosiar

Banyak perempuan khawatir kebijakan tersebut akan memperburuk diskriminasi dari atasan mereka yang enggan membayar cuti hamil. 

Para generasi muda di Tiongkok juga mengomel bahwa mereka sudah mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan dan mengurus diri mereka, apalagi jika menambah seorang anak lagi. 

Sementara itu,  kelas pekerja dan orang tua juga mengatakan beban keuangan akan lebih banyak dan menjadi tak tertahankan. 

“Saya pasti tidak akan punya anak lagi,” kata Hu Daifang, mantan pekerja migran di Provinsi Sichuan.

Hu, 35, mengatakan dia sudah berusaha untuk menjaga anaknya, terutama setelah ibunya jatuh sakit dan tidak bisa lagi membantunya.

“Rasanya seperti kita hanya bertahan, tidak hidup,” lanjutnya. 

Baca Juga: Vietnam Temukan Varian Baru Virus Corona dengan Penyebaran Lebih Cepat

Bagi warga Tiongkok, kebijakan ini mengingatkan mereka akan kebijakan pemerintah sebelumnya yang kurang menyediakan perlindungan hukum dan keamanan sosial bagi mereka yang memiliki banyak anak. 

Di Weibo, media sosial yang ada di Tiongkok, orang-orang mengeluhkan biaya pendidikan yang meningkat, harga rumah yang tinggi, dan jam kerja yang tidak kenal ampun.

Orang-orang mengatakan bahwa layanan penitipan anak di Tiongkok masih kurang sehingga banyak generasi muda yang menitipkan anaknya pada orang tua mereka. 

“Saya sarankan Anda pertama-tama memperbaiki masalah paling mendasar terkait hak bersalin dan diskriminasi yang pasti akan dihadapi perempuan di tempat kerja, dan kemudian mendorong mereka untuk memiliki anak,” dalam komentar paling populer di Weibo. 

Menanggapi jajak pendapat oleh Xinhua tentang kebijakan memiliki tiga anak tersebut, hanya sebagian kecil dari responden yang memilih "Saya siap, saya tidak sabar," 

Dari sekitar 22.000 orang yang menanggapi jajak pendapat tersebut, 20.000 memilih pilihan 'saya tidak akan mempertimbangkannya sama sekali'. Namun kini, jajak pendapat itu telah dihapus oleh Xinhua. 

Baca Juga: Mengenal Morphing, Pelecehan Seksual Online yang Dialami Citra Kirana

Dalam pengumumannya, pemerintah berjanji membantu keluarga dengan biaya pendidikan dan perawatan anak, namun tidak banyak memberikan rincian.

Sebelumnya, Tiongkok telah lama berjanji untuk merombak kebijakan yang memengaruhi keluarga, akan tetapi perubahannya lambat.

Menurut Lu Hongping, profesor studi populasi di Universitas Hebei, satu-satunya perubahan nyata dalam lima tahun terakhir yakni kebijakan mengenai perpanjangan cuti melahirkan.  Menurut undang-undang, cuti melahirkan menjadi sekitar 160 hari di sebagian besar wilayah.

Tapi meski begitu, banyak pihak yang mengatakan bahwa jumlah tersebut terlalu pendek. 

“Mereka tidak melakukannya dengan baik. Pada dasarnya, mereka belum melakukannya,” kata Profesor Lu tentang reformasi tersebut.

“Dan jika itu tidak dilakukan, maka biayanya terlalu tinggi, dan banyak orang akan merasa bahwa mereka tidak mampu untuk memiliki keluarga yang terlalu besar,” paparnya. 

Melansir Kompas.com, Beijing sudah melakukan upaya menaikkan angka kelahiran. 

Baca Juga: Kabar Baik! Tarik Tunai dan Cek Saldo di ATM Link Belum Dikenai Biaya Tambahan

Akan tetapi, pada tahun 2020, hanya tercatat 12 juta kelahiran. Dalam statistik tahunan, angka tersebut merupakan angka terendah. 

Tingkat kesuburan masyarakatnya pun berada di angka 1,3. Hal ini berada di bawah lebel yang dibutuhkan untuk mempertahankan populasi.

Berdasarkan sesus 2020, meski mencapai 1,41 miliar jiwa, pertumbuhan populasi China berada dalam titik terendah sejak 1950-an.

Kekhawatiran makin bertambah karena jumlah angkatan kerja baru juga menurun, yang berimbas pada sektor ekonomi. 

Karena kebijakan satu anak, orangtua memilih untuk mendapatkan anak laki-laki dan menelantarkan bayinya yang perempuan.(*)