Melewati Trauma Dapat Mengubah Cara Otak Bekerja? Ini Penjelasan Ahli

Alessandra Langit - Minggu, 9 Mei 2021
Ilustrasi seorang perempuan.
Ilustrasi seorang perempuan. freepik.com

Parapuan.co - Tidak sedikit dari kita yang pernah melewati peristiwa traumatis. Mungkin akibat kehilangan seseorang, kekerasan, atau pun pelecehan.

Peristiwa traumatis dapat memengaruhi semua aspek kesehatan, mulai dari nafsu makan, pola tidur, hingga kesehatan mental. 

Namun, tidak banyak yang tahu bahwa trauma ternyata dapat memengaruhi otak. Bahkan, trauma dapat mengubah kerja otak.

Otak yang bisa jadi terpengaruh dari bagian yang mengatur rasa takut dan marah sampai bagian yang menyimpan ingatan.

Peristiwa traumatis dapat meninggalkan bekas luka di beberapa area utama otak serta efek jangka panjang bagi kesehatan dan fungsinya.

Baca Juga: Tokofobia, Ketakutan Hamil dan Melahirkan Serta Cara Mengatasinya

Melansir Bustle, Sanam Hafeez Psy.D., seorang ahli saraf mengatakan, "Trauma psikologis tidak hanya melelahkan secara mental dan fisik. Trauma juga dapat memiliki efek jangka panjang pada otak korban."

Sebuah studi tentang trauma dan otak yang diterbitkan Revue Neurologique (2021) menemukan bahwa ada dua area neurologis utama di mana trauma muncul yaitu di bagian pertahanan otak dan bagian kognitif. 

Hal tersebut dapat memengaruhi cara otak dalam menghadapi ancaman, cara kerja memori, dan cara kamu mengatur emosi.

Trauma mengaktifkan amigdala

Amigdala adalah bagian otak yang mengontrol emosi, khususnya, ketakutan dan kemarahan. 

"Seseorang yang mengalami trauma psikologis yang intens kemungkinan besar memiliki amigdala yang hiperaktif," terang Dr. Sanam.

Artinya, meskipun tidak ada bahaya di sekitarnya, amigdala mungkin masih mengaktifkan respons "lawan atau lari" dan menyebabkan orang tersebut bereaksi seolah sedang terancam.

Amigdala memiliki peran utama dalam gelombang respons yakni mengirimkan hormon dan sinyal ke seluruh tubuh. 

Amigdala yang terlalu aktif dapat memulai proses perlawanan tanpa peringatan ketika dipicu oleh sesuatu yang mengingatkan pada trauma aslinya, seperti berada di lingkungan yang serupa. 

Beberapa ahli menyebut kejadian ini sebagai pembajakan amigdala.

Baca Juga: Langkah Awal Mendukung Mereka yang Tengah Mengalami Imposter Syndrome

Gangguan korteks prefrontal

Korteks prefrontal, yang membantu mengatur emosi, yang biasanya mengontrol reaksi amigdala, menjadi tidak efektif.

Hal ini dapat menyebabkan kesulitan berkonsentrasi atau tidak merasa hadir sepenuhnya, dan merasa ada hambatan dalam mengenali emosi dan mengidentifikasinya.

Gangguan hipokamus

"Hipokampus adalah bagian otak yang memiliki kemampuan untuk melacak ingatan seseorang," kata Dr. Sanam. Dampak trauma pada hipokampus dapat bervariasi.

Bagi sebagian orang, hipokampus dapat mengalami kesulitan untuk menyimpan ingatan lain selain ingatan kejadian traumatis tersebut.

Bagian otak tersebut mempertahankan peristiwa traumatis dengan sangat jelas dan memutar memori tersebut di otak korban.

Kawan Puan, ternyata trauma dapat berdampak cukup berbahaya bagi cara kerja otak kita. Maka itu, dalam mengatasinya, kamu mungkin perlu melakukan terapi dengan profesional.

Baca Juga: Suka Belanja Alat Tulis Meskipun Tak Dipakai? Ternyata Ini Penyebabnya

"Jika trauma psikologis tidak ditangani, kerusakan pada bagian-bagian otak seperti hipokampus dan amigdala akan menjadi semakin sulit untuk disembuhkan," kata Dr. Sanam. 

Kawan Puan yang mengalami trauma di masa kanak-kanak mungkin sudah melihat efek jangka panjang pada pertumbuhan otak dan kesehatan mental. 

Namun, tidak ada kata terlambat untuk mendapatkan bantuan dan dukungan profesional, ya. (*)

 

Makanan dan Minuman yang Sebaiknya Dihindari Penderita Malaria, Apa Saja?