Parapuan.co - Pada tahun 2020 lalu, masyarakat dihebohkan dengan kasus pernikahan anak di bawah umur.
Baharuddin, seorang laki-laki dewasa menikahi anak tirinya sendiri (SF), yang baru berusia 12 tahun.
Diketahui, SF merupakan korban pemerkosaan yang telah dilakukan oleh Baharuddin.
Baharuddin secara sadar melakukan tindak pelecehan seksual kepada anak di bawah umur kemudian menikahinya untuk menutup kesalahannya.
Baca Juga: Catat! Ini 15 Jenis Kekerasan Seksual yang Sering Dialami Perempuan
Saat ini, pernikahan pelaku pemerkosaan dengan korban ternyata masih sering terjadi di berbagai negara di dunia.
Melansir The Guardian, 20 negara di dunia masih memperbolehkan pelaku pemerkosaan untuk menikahi korbannya.
Rusia, Thailand, dan Venezuela adalah tiga negara yang masuk ke daftar 20 negara tersebut.
Dr. Natalia Kanem, direktur eksekutif UN Population Fund (UNFPA), yang menerbitkan laporan tersebut, menyatakan bahwa aturan tersebut sangat salah dan merupakan cara untuk mengatur dan menundukkan perempuan.
Baca Juga: Miris, Kekerasan Seksual dan Perkawinan Anak Bisa Terjadi di Lokasi Pengungsian
“Undang-undang 'Menikahi Pemerkosa' mengalihkan beban dan rasa bersalah kepada korban. Mereka mencoba untuk membersihkan situasi yang bersifat kriminal,” ungkap Natalia.
Di Indonesia sendiri, tidak ada aturan spesifik untuk pemerkosa menikahi korban.
Namun, stigma masyarakat yang merendahkan korban sangat memungkinkan hal tersebut terjadi.
Belum lagi, aturan perlindungan korban pemerkosaan saat ini masih terkesan bias.
Baca Juga: Cinta Laura Ingin Terus Suarakan Isu Kekerasan Seksual di Indonesia
Menurut Pasal 1 ayat (5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008, korban perkosaan berhak memperoleh restitusi karena perkosaan merupakan tindakan pidana.
Restitusi yang dimaksudkan adalah tanggung jawab pelaku terhadap akibat yang ditimbulkan dari pemerkosaan yang dilakukan
Tujuannya adalah untuk menanggulangi semua kerugian yang diderita korban.
Tolak ukur yang digunakan dalam menentukan bentuk tanggung jawab tersebut masih sangat bias dan tidak dirumuskan dengan jelas.
Baca Juga: Cerita Cinta Laura Jadi Korban Catcalling Saat Pakai Baju Tertutup
Semua tergantung keadaan status sosial dan ekonomi korban.
Bentuknya bisa dengan sejumlah uang atau harta, bisa juga perbaikan nama baik.
Hal tersebut dapat memicu persepsi bahwa tanggung jawab yang dimaksud bisa jadi adalah pernikahan untuk memperbaiki nama keluarga korban atau pelaku.
Hal tersebut juga bisa dipicu dengan kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan pelaku untuk melakukan ganti rugi dengan bentuk uang atau harta.
Baca Juga: Miris, Kekerasan Seksual dan Perkawinan Anak Bisa Terjadi di Lokasi Pengungsian
Hukum yang bias tersebut bisa digantikan dengan hukum perlindungan korban yang tertulis di Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS)
Dalam RUU PKS pasal 26, korban mendapat perlindungan dari lembaga hukum atau sosial jika korban mendapat ancaman atau tekanan dari pelaku atau pihak terkait yang tidak sesuai dengan kehendak korban.
Kawan Puan, kasus seperti ini mengingatkan kita kembali pentingnya untuk mendesak lembaga hukum mengesahkan RUU PKS segera, sebelum kasus serupa semakin banyak.
Baca Juga: Ini 4 Tuntutan GERAK Perempuan untuk Kesetaraan Gender di Indonesia
Kawan Puan dapat ikut menyuarakan tuntutan tersebut dalam acara Women’s March Jakarta yang akan dilaksanakan pada tanggal 21-24 April 2021.
Kamu dapat mendapatkan informasi lebih lanjut lewat media sosialnya.
(*)