Keterlibatan dalam Ranah Profesional Minim, Keluarga Harus Ubah Budaya Keliru Penyebab Perempuan Tak Mandiri

Shenny Fierdha - Rabu, 31 Maret 2021
Keterlibatan dalam Ranah Profesional Minim, Keluarga Harus Ubah Budaya Keliru yang Membuat Perempuan Tak Mandiri
Keterlibatan dalam Ranah Profesional Minim, Keluarga Harus Ubah Budaya Keliru yang Membuat Perempuan Tak Mandiri alvarez

Parapuan.co - Salah satu hal yang menjadi faktor sedikitnya jumlah perempuan di lingkungan kerja adalah budaya dari keluarga.

Selama ini, budaya keluarga Indonesia adalah menganggap perempuan sebaiknya tidak berpenghasilan dan harus di rumah saja mengurus anak. Tentu saja budaya ini harus diubah.

Hal tersebut disampaikan oleh penulis dan aktivis kesetaraan gender, Kalis Mardiasih dalam sebuah konferensi pers virtual melalui aplikasi Zoom, Selasa (30/3/2021).

Konferensi pers virtual tersebut bertajuk Investing in Women: Mainstreaming Women Participation in the Economy yang diadakan oleh perusahaan teknologi finansial Amartha.

Baca Juga: Inspiratif! Ini Pendapat Prilly Latuconsina Soal Perempuan Mandiri

"Jadi harus dimulai dari unit terkecil dulu, yaitu keluarga, yang menjadi contoh," ucap Kalis dalam konferensi pers tersebut.

Dia pun mengkritik kebanyakan keluarga yang jarang mengajarkan anak perempuannya keterampilan penting lain dalam hidup selain memasak dan bersih-bersih.

Keterampilan lain tersebut bisa berupa menyetir kendaraan roda dua atau empat, maupun keterampilan memperbaiki barang elektronik yang rusak.

Akibatnya, banyak perempuan yang tumbuh dewasa dengan minim keterampilan.

"Dalam keluarga, anak laki-laki diajarkan membetulkan genteng dan alat elektronik. Tapi, anak perempuan cuma diajarkan menyapu lantai. Ini yang membuat perempuan umumnya miskin keterampilan," kecam Kalis. 

Tak hanya membatasi keterampilan perempuan secara signifikan, hal ini pun ironisnya memunculkan rasa ketidakpercayaan perempuan terhadap perempuan lain dalam hal tertentu.

Baca Juga: IBCWE: Investasi Pemenuhan Hak Perempuan Bisa Untungkan Perusahaan

"Banyak perempuan untuk naik ojek saja merasa lebih aman jika yang menyetir adalah laki-laki karena perempuan sendiri menganggap laki-laki lebih tepercaya (untuk menyetir kendaraan)," keluh Kalis.

Padahal, keterampilan sekadar mengendarai motor atau mobil serta memperbaiki atap yang tadi dia sebutkan hanyalah keterampilan biasa yang seharusnya bisa dilakukan oleh kedua gender.

Desa turut berperan

Selain keluarga inti yang harus membekali anak perempuan dan laki-lakinya dengan keterampilan yang seimbang, desa pun harus ikut ambil bagian.

Ini lantaran masih banyak warga desa yang meyakini bahwa perempuan hanya berkutat di rumah dan tidak berpenghasilan mandiri.

Kalis sendiri mengakui dirinya memang berasal dari desa sehingga sudah paham akan keyakinan keliru tersebut.

Menurutnya, desa harus dipimpin oleh perempuan supaya warga desa sadar bahwa perempuan bekerja di luar rumah adalah hal baik, apalagi sebagai pemimpin.

Baca Juga: Terbukti! Pemimpin Perempuan Lebih Sukses Menghadapi Krisis Pandemi Covid-19, Ini Alasannya

"Perlu gebrakan di level desa yang menunjukkan bahwa perempuan bisa menjadi kepala RT, kepala RW, bahkan kepala desa," ungkap Kalis.

Selain itu, lanjut dia, perlu juga adanya contoh nyata perempuan sukses berkarier yang berasal dari desa sehingga bisa menjadi panutan para perempuan desa lainnya.

Menurut Kalis, contoh nyata demikian dapat membuat para perempuan desa menyadari bahwa peran perempuan lebih dari sekadar di rumah dan punya penghasilan itu penting.

Dampak media massa terhadap peran perempuan

Kalis menilai bahwa keluarga dan desa harus bahu-membahu untuk meluruskan pemahaman keliru mengenai peran perempuan bahwa perempuan hanya mengurus keluarga di rumah.

Ini karena media massa turut mendukung pemahaman keliru tersebut sehingga banyak perempuan yang semakin yakin bahwa tempatnya memang di rumah.

Hal ini tampak dari iklan komersial di media massa yang menggambarkan peran perempuan sebatas di ranah domestik, bukan profesional.

Baca Juga: 5 Film Indonesia yang Tokoh Utamanya Perempuan Hebat, Favorit!

"Perempuan selalu muncul di iklan pewangi, deterjen, dan obat batuk di televisi. Ada iklan obat batuk yang anak tiba-tiba terbangun tengah malam karena terbatuk.

Ibunya (dalam iklan itu) lalu terbangun dan memberikan obat kepada anak. Tapi bapaknya mana?" ujar Kalis, prihatin.

Iklan-iklan komersial seperti itu semakin menanamkan stigma domestik pada perempuan yang menganggap perempuan hanya bertugas mengurus keluarga sementara laki-laki lepas tangan.

Padahal, mengurus keluarga seharusnya dilakukan oleh perempuan dan laki-laki bersama-sama.

Tak hanya iklan, tayangan sinetron di televisi yang mendukung pola pikir keliru bahwa perempuan harus di rumah saja pun semakin gencar disiarkan.

Imbasnya, banyak perempuan yang menonton sinetron tersebut semakin percaya bahwa dirinya memang ditakdirkan berada di rumah dan tidak menghasilkan uang sendiri.

Selain itu, karakter sinetron yang tidak mendidik dan sering kali tidak sesuai kenyataan pun dikhawatirkan dapat memicu pemikiran yang salah antara sesama perempuan.

"Ada sinetron yang empat kali sehari tayang di televisi. Dua tokoh utama perempuannya berbeda. Yang satu hanya ibu rumah tangga yang cuma bisa menangis.

Yang satu lagi adalah perempuan berkarier yang digambarkan suka merebut suami orang di kantor. Ini bisa membuat perempuan sendiri jadi berpikir, 'Wah, perempuan pekerja pasti merebut suami gue di kantor'," terang Kalis.

Baca Juga: 3 Alasan Perempuan Perlu Mandiri Finansial, Bisa Memberikan Kekuatan untuk Memilih

Dia menyesalkan gambaran keliru seperti itu mengenai perempuan oleh media massa yang menurut Kalis dapat membuat sesama perempuan saling curiga dan memusuhi.

Maka itu, Kalis kembali mengingatkan bahwa keluarga inti dan desa sangat berperan untuk meruntuhkan gambaran keliru mengenai perempuan oleh media massa tersebut.

Bukan cuma itu, dirinya juga mengimbau agar para suami mendukung kemandirian istri secara finansial mengingat masih adanya suami yang melarang istri berkarier.

"Jika istri bisa mandiri dan membeli alat kecantikan (atau kebutuhan lain) sendiri, tidak minta dibelikan (oleh suami), itu enak, lo. Karena tidak menyusahkan dan memberatkan suami," pungkas Kalis. (*)

Penulis:
Editor: Rizka Rachmania