Review Film Georgia: Realitas Sulitnya Keluarga Korban Pemerkosaan Mencari Keadilan

Alessandra Langit - Sabtu, 18 Desember 2021
Review film pendek Georgia
Review film pendek Georgia Jayil Park

Parapuan.co - Kawan Puan, belum lama ini netizen media sosial Twitter sedang ramai membicarakan film Georgia.

Film pendek asal Korea Selatan yang disutradarai Jayil Pak tersebut sempat ditayangkan di Jogja Netpac Asian Film Festival (JAFF) di Yogyakarta pada awal bulan Desember.

Film ini sontak langsung ramai karena memiliki jalan cerita yang serupa dengan rentetan kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia.

Kisah tokoh anak perempuan dalam film ini sama persis dengan mendiang NWR, korban kekerasan seksual di Mojokerto yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.

Film Georgia menggaungkan pesan yang sama dengan apa yang sedang diperjuangkan perempuan di Indonesia.

Hal itu yang mendorong pemilik akun media sosial @mineurbaes untuk meminta izin Jayil Pak menayangkan Georgia di YouTube hanya dengan akses 24 jam.

Baca Juga: Review Film Yuni, Perempuan dan Mimpi di Tengah Belenggu Sistem Patriarki

Melihat kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia, Jayil Pak pun mengizinkan pesan dalam film ini disaksikan oleh masyarakat Indonesia secara cuma-cuma.

"Kami juga sangat sedih mendengar kasus serupa (dengan di film kami) terjadi baru-baru ini di Kabupaten Mojokerto," tulisnya di kolom keterangan video di YouTube-nya.

"Kami diingatkan bahwa perjuangan untuk keadilan dan reformasi hukum adalah perjuangan yang berat di mana pun Anda berada di dunia," sambungnya.

PARAPUAN berkesempatan untuk menyaksikan Georgia di YouTube, yang saat itu sudah hampir menyentuh batas jam penayangannya.

Georgia menceritakan perjuangan seorang ayah dan ibu penderita stroke yang berusaha memperjuangan keadilan bagi anaknya.

Lee Jina, anak mereka, memutuskan untuk mengakhiri hidupnya setelah menjadi korban kekerasan seksual oleh 18 pelaku.

Jina adalah perempuan muda yang penuh mimpi, ia ingin melanjutkan pendidikan desain di Georgia, Amerika Serikat.

Namun, memperjuangkan keadilan mendiang anaknya ternyata tidak semudah itu.

Hidup dalam kondisi ekonomi pas-pasan, suara dan tuntutan orang tua Lee Jina tidak didengar oleh pihak penegak hukum dan kepolisian.

Keadilan pun harus kalah dengan mereka yang memiliki status sosial tinggi dan kekuasaan.

Sepanjang film ini, penonton diajak untuk melihat perjalanan kedua orang tua Jina dalam membuat banner dengan font tulisan Georgia.

Sayangnya, font tersebut tidak dapat digunakan di bahasa Korea.

Georgia diangkat dari kisah nyata yang terjadi di Korea Selatan pada 2004 silam.

Pada tahun itu, muncul kasus Miryang di mana ada seorang siswi yang diperkosa oleh 40 siswa selama setahun.

30 menit merupakan waktu yang singkat untuk menjelaskan isu yang kompleks, namun film ini berhasil menjabarkan apa yang harus penonton ketahui soal kasus kekerasan seksual.

Baca Juga: Film 27 Steps of May: Pahitnya Trauma Kekerasan Seksual dan Kesehatan Mental Penyintas

Umumnya, film tentang kekerasan seksual diambil dari perspektif korban.

Namun Georgia menawarkan pandangan baru yaitu dari perjuangan orang tua dalam mencari keadilan bagi anak perempuannya.

Sudut pandang ini sudah lama terkubur, bahkan di negeri kita sendiri.

Jarang ada yang menyoroti nasib orang tua dan kerabat korban kekerasan seksual, terlebih jika korban memilih untuk mengakhiri hidup.

Kasus kekerasan seksual seringkali ditutup tanpa dituntaskan oleh lembaga hukum seperti kepolisian.

Apakah Kawan Puan bisa membayangkan, berapa banyak orang tua di luar sana yang masih menuntut keadilan bagi anaknya yang adalah korban kekerasan seksual?

Kesedihan dan pilu yang dirasakan oleh kedua orang tua Jina disampaikan dalam film ini dengan puitis dan lembut.

Film kekerasan seksual umumnya secara gamblang menunjukkan trauma korban dan kejadian mengerikan tersebut.

Namun film ini dapat berbicara lewat bahasa visual yang menyimpan banyak makna mendalam.

PARAPUAN melihat adanya dominasi warna merah, biru, dan putih, yang merupakan representasi dari bendera Korea Selatan.

Film ini mencoba untuk mewakilkan perempuan dan kaum minoritas di Korea Selatan secara keseluruhan.

Baca Juga: Film A World Without: Masa Depan dan Perempuan Tak Pernah Bisa Dipisahkan

Selain itu, warna hitam dan kuning yang merupakan warna bendera negara bagian Georgia juga muncul saat di mana nama Jina dibicarakan.

Warna hitam dan kuning tersebut juga banyak ditemukan di pakaian karakter ibu, yang memiliki hubungan rahim yang kuat dengan Jina.

Payung transparan juga menjadi salah satu elemen dengan makna mendalam yang terlihat di film ini.

Hukum sering dikaitkan dengan benda payung karena sama-sama memiliki fungsi untuk melindungi.

Payung transparan yang digunakan oleh masyarakat dalam film ini menjadi representasi dari harapan akan hukum yang transparan.

Dalam film ini, lembaga hukum menyembunyikan kepentingan pribadi dengan pihak-pihak yang lebih punya kuasa.

Seperti di Indonesia, hukum di film ini tidak memihak kepada korban kekerasan seksual.

Di akhir film ini, banner dengan jenis tulisan Georgia pun berhasil dicetak.

Namun, tidak ada kata-kata yang berhasil dibaca, hanya ada kotak-kotak berjejer.

Walau begitu, banner tuntutan tersebut tetap dipasang oleh kedua orang tua Jina, menjadi pesan-pesan lantang yang diabaikan.

Baca Juga: Film Dua Garis Biru: Melihat Pentingnya Keterbukaan dalam Keluarga bagi Anak Remaja

Film Georgia tidak memberikan solusi atau akhir bahagia dari perjuangan orang tua korban kekerasan seksual.

Film ini menangkap realita, bak air dingin yang disiram ke wajah, film ini membangunkan masyarakat untuk melihat realita yang terjadi.

Secara jujur, Georgia adalah rupa nyata ketidakadilan hukum bagi korban kekerasan seksual dan kelompok ekonomi kelas bawah.

Baca Juga: Sinopsis Laut Memanggilku, Film Pendek Indonesia Pemenang Festival Film Busan

(*)