Parapuan.co - Perceraian bukan lagi menjadi hal tabu di masyarakat modern. Setiap tahun, angka perceraian terus meningkat, dan menariknya, mayoritas gugatan justru datang dari pihak perempuan.
Menurut laman BBC, di Amerikan Serikat, hampir 50 persen perempuan menggugat cerai suaminya. Sementara di Inggris, 62 persen perempuan mengajukan gugatan cerai , terutama di wilayah Wales.
Data Badan Pusat Statistik, di tahun 2024 dilaporkan 446.359 kasus perceraian yang menempatkan perempuan sebagai penggugat. Angka tersebut meningkat dibandingkan tahun 2023.
Fenomena ini memunculkan banyak pertanyaan, mengapa lebih banyak perempuan yang memilih menggugat cerai dibanding suaminya? Apakah masalah ekonomi, ketidakcocokan, atau justru tuntutan kebahagiaan pribadi yang jadi penyebabnya?
Untuk memahami fenomena ini, kamu perlu melihat dari berbagai sisi, mulai faktor psikologis, ekonomi, hingga perubahan cara pandang terhadap pernikahan. Perempuan kini lebih berani bersuara dan mengambil keputusan besar demi kesejahteraan diri sendiri maupun anak-anaknya.
1. Kesadaran Perempuan akan Hak dan Kesejahteraan
Perempuan modern semakin menyadari hak-haknya, baik sebagai istri maupun individu. Jika dahulu banyak perempuan memilih bertahan dalam pernikahan tidak sehat karena norma sosial atau tekanan keluarga, kini mereka lebih berani mengambil keputusan tegas.
Kamu pasti sering mendengar kasus di mana perempuan memutuskan untuk menggugat cerai karena merasa tidak diperlakukan adil, mengalami kekerasan, bahkan tak mendapatkan perhatian yang layak dari pasangan.
Kesadaran akan hak atas kebahagiaan membuat banyak perempuan lebih memilih hidup sendiri daripada terus bertahan dalam hubungan yang penuh konflik.
Baca Juga: Cara Perempuan Berdamai dengan Perceraian, Langkah Memulai Hidup Baru
2. Masalah Ekonomi dan Beban Finansial
Salah satu faktor yang paling sering menjadi alasan perceraian adalah masalah ekonomi. Banyak perempuan merasa bahwa pasangannya tidak mampu memberikan nafkah secara layak, bahkan meninggalkan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga.
Ketika kebutuhan sehari-hari tidak terpenuhi, ketegangan rumah tangga pun tak terhindarkan. Namun menariknya, meningkatnya kemandirian finansial perempuan juga menjadi alasan kenapa mereka berani menggugat cerai.
Dengan memiliki penghasilan sendiri, perempuan tidak lagi merasa 'terikat' secara ekonomi pada suami. Kebebasan ini membuat mereka lebih percaya diri untuk mengambil keputusan berpisah ketika pernikahan sudah tidak sehat lagi.
3. Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)
Tidak bisa dimungkiri, KDRT juga menjadi faktor besar dalam banyak kasus perceraian yang diajukan oleh perempuan. Mereka tidak lagi diam atau menerima perlakuan kasar dengan dalih menjaga kehormatan rumah tangga.
Justru, dengan meningkatnya kesadaran hukum dan dukungan dari berbagai pihak, perempuan lebih berani melawan dan memilih jalur hukum untuk mengakhiri pernikahan yang penuh kekerasan.
Fenomena perempuan yang lebih banyak menggugat cerai suaminya bukan hanya soal angka statistik, melainkan gambaran nyata tentang bagaimana peran, kesadaran, dan keberanian perempuan telah berkembang.
Perceraian tentu bukan tujuan utama dari sebuah pernikahan, tetapi ketika hubungan tidak lagi sehat, perempuan kini lebih berani memilih jalan keluar. Perubahan ini menunjukkan bahwa perempuan semakin kuat, mandiri, dan tahu apa yang terbaik untuk kehidupannya.
Baca Juga: Mengenal Istilah Silent Divorce, Perceraian Pasangan secara Emosional
(*)