Parapuan.co - Di era digital serba instan, anak-anak dari Generasi Alpha—yang lahir antara tahun 2010 hingga 2024—bukan hanya melek teknologi, tapi juga sudah jadi konsumen aktif sejak kecil. Kemudahan akses terhadap layanan pesan antar seperti GoFood, TikTok Shop, dan metode pembayaran nirsentuh (QRIS) membuat mereka terbiasa mendapatkan apapun hanya dalam beberapa klik.
Sebuah laporan dari perusahaan teknologi finansial GoHenry yang dikutip dari CNBC mengungkap bahwa anak-anak Gen Alpha di Inggris, Amerika Serikat, Prancis, dan Spanyol menghabiskan total sekitar Rp2,05 triliun selama tahun 2023 hingga 2024. Yang paling mengejutkan, lebih dari Rp67 miliar diantaranya dihabiskan hanya untuk layanan makanan online. Angka ini naik 113% dibandingkan tahun sebelumnya.
Menurut Louise Hill, pendiri GoHenry, "Kenyamanan dan kecepatan sudah menjadi hal yang normal bagi mereka (Gen Alpha). Mereka terbiasa segalanya bisa tersedia hanya dengan satu klik tombol, dan ini membentuk perilaku mereka dalam hal keuangan."
Uang Harus Dihasilkan, Bukan Sekadar Dibelanjakan
Meski banyak materi edukasi keuangan tersedia secara daring, Louise Hill mengingatkan bahwa aplikasi belanja, sistem buy now pay later, dan kartu kredit justru membuat anak-anak makin mudah membelanjakan uang tanpa benar-benar paham nilainya.
Louise Hill mengatakan, penting bagi anak-anak untuk memahami bahwa "uang harus dihasilkan terlebih dahulu sebelum bisa dibelanjakan," dan ketika membelanjakannya pun harus dengan pertimbangan matang.
Salah satu tips sederhana dari Louise Hill adalah membuat uang terasa nyata, misalnya dengan memberi uang saku rutin setiap minggu. "Kalau kamu memberi anakmu Rp10.000 setiap Sabtu, dalam empat minggu mereka akan sadar, ‘Oh, kalau aku sabar, aku punya Rp40.000. Dan aku bisa beli barang yang aku mau’," ungkapnya.
Membiarkan anak memegang uang fisik dan menukarnya dengan permen atau mainan juga membantu mereka memahami konsep nilai. "Anak bisa belajar bahwa sekantong permen harganya beberapa koin, sementara mainan lebih besar butuh lebih banyak," katanya.
Ajari dengan Cara Seru: Pizza Budgeting dan Fakeaway
Baca Juga: Kurikulum Merdeka Beri Literasi Finansial untuk Siswa, Bagaimana Aplikasinya?
Untuk anak yang lebih besar, Louise Hill merekomendasikan metode visual yang disebut “pizza budgeting”—di mana sepotong pizza mewakili anggaran keluarga. Orang tua bisa mengajak anak menebak seberapa besar “irisan” dari pizza yang dipakai untuk bayar listrik, sewa, atau cicilan rumah.
Dengan begitu, anak akan lebih sadar bahwa uang tidak sepenuhnya untuk jajan atau hiburan. Selain itu, Hill juga menyoroti pentingnya mengikutsertakan anak dalam obrolan keuangan keluarga, terutama saat kondisi sedang sulit.
"Anak-anak menyerap segalanya. Kalau kamu sedang stres soal uang, mereka juga akan merasakannya," ujarnya. Tapi ini bukan berarti harus membuat anak khawatir. Misalnya, jika kamu tidak bisa lagi memesan makanan dari luar setiap Jumat, ajak anak membuat "fakeaway"—versi buatan sendiri dari makanan pesan antar.
“Libatkan anak dalam membuat pizza, biarkan mereka pilih topping-nya, dan ajak mereka ke supermarket. Lalu tunjukkan berapa uang yang bisa dihemat,” tambah Hill.
Cara ini bukan hanya mengajarkan hemat, tapi juga memberi anak rasa kontrol dan tanggung jawab dalam memilih bagaimana uang dibelanjakan—keterampilan yang penting hingga mereka dewasa nanti.
Membentuk Generasi Cerdas Finansial Sejak Dini
Kebiasaan keuangan yang sehat tidak terbentuk dalam semalam. Perlu konsistensi, komunikasi terbuka, dan keterlibatan aktif dari orang tua untuk membimbing anak-anak Gen Alpha agar tidak hanya menjadi pembeli cerdas, tapi juga pengelola uang yang bijak. Di tengah derasnya arus konsumsi dan gempuran iklan digital, anak-anak perlu dibekali kesadaran bahwa uang bukanlah sesuatu yang bisa didapat dengan mudah.
Mendidik anak agar memiliki pemahaman finansial yang kuat bukan berarti menakut-nakuti mereka dengan beban ekonomi keluarga. Sebaliknya, ini adalah tentang membangun hubungan yang sehat antara anak dan uang, mengajarkan bahwa menabung bisa lebih memuaskan daripada belanja impulsif, dan bahwa setiap keputusan finansial memiliki konsekuensi.
Generasi Alpha memiliki potensi luar biasa untuk menjadi generasi yang cerdas, adaptif, dan inovatif. Namun, untuk memaksimalkan potensi tersebut, mereka perlu ditanamkan nilai-nilai tanggung jawab keuangan sejak dini—bukan hanya agar mereka bisa bertahan secara ekonomi, tetapi agar mereka tumbuh menjadi individu yang mandiri dan punya kontrol atas masa depannya.
Karena pada akhirnya, melek finansial bukan hanya tentang jumlah uang yang mereka punya, tetapi tentang cara berpikir, merasakan, dan membuat keputusan bijak tentang uang—sebuah warisan berharga yang bisa orang tua berikan kepada anak-anaknya di era modern ini.
Baca Juga: Tantangan Memberi Literasi Finansial pada Anak Remaja di Era Cashless
(*)