5 Cara Mengenali Sifat Red Flag dalam Diri Sendiri, Apa Saja?

Saras Bening Sumunar - Rabu, 4 Juni 2025
Mengenali red flag dalam diri sendiri.
Mengenali red flag dalam diri sendiri. Kateryna Onyshchuk

Parapuan.co Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali fokus pada tanda-tanda red flag orang lain, seperti pasangan, teman, atau rekan kerja.

Jarang sekali kita merenung dan menyadari bahwa perilaku atau pola pikir tertentu dalam diri sendiri juga bisa menjadi red flag yang berdampak negatif pada kesejahteraan pribadi dan hubungan sosial.

Mengenali red flag dalam diri sendiri adalah langkah awal yang krusial untuk membangun hubungan sehat, baik dengan diri sendiri maupun orang lain.

Saat memahami dan mengatasi sikap-sikap negatif yang mungkin tidak disadari, kita dapat meningkatkan kualitas hidup, memperkuat kepercayaan diri, juga menciptakan lingkungan sosial yang lebih positif. Merujuk dari laman Kompas.comberikut cara mengenali red flag dalam diri sendiri:

1. Mengabaikan Pentingnya Batasan Pribadi

Ketika seseorang secara terus-menerus gagal untuk menghormati dan menjaga batasan pribadi pasangannya, misal dengan menunjukkan ketergantungan emosional yang berlebihan atau keinginan berlebih untuk menyenangkan pasangan tanpa mempertimbangkan kebutuhan diri sendiri.

Hal ini dapat menciptakan pola relasi yang timpang dan tidak seimbang. Dinamika yang terbentuk justru mengarah pada ketidaksehatan emosional, ketergantungan, serta potensi manipulasi yang mengikis kualitas hubungan dalam jangka panjang.

2. Ketidakmampuan Menunjukkan Empati

Salah satu indikator penting dari hubungan yang tidak sehat adalah ketika salah satu pihak tak mampu menunjukkan empati secara konsisten, yaitu ketidakmampuan untuk mengenali, memahami, serta merespons perasaan dan pengalaman emosional pasangannya secara penuh.

Baca Juga: 10 Red Flags Teman Traveling yang Bisa Bikin Liburan Jadi Drama

Dalam hubungan yang sehat, empati bukan hanya berarti mendengarkan, melainkan juga melibatkan proses validasi emosional, penerimaan atas perspektif pasangan, dan kemauan untuk hadir secara emosional, bahkan dalam kondisi yang tidak nyaman sekalipun.

3. Pola Komunikasi yang Tidak Terbuka

Jika dalam interaksi sehari-hari seseorang cenderung menghindari percakapan yang jujur, terbuka, dan langsung, maka hubungan akan terjebak dalam pola komunikasi yang ambigu.

Hal ini pada akhirnya dapat menimbulkan kesalahpahaman yang berulang, meningkatkan jarak emosional di antara pasangan, serta menurunkan kualitas keterikatan emosional yang seharusnya menjadi fondasi utama dalam sebuah hubungan.

4. Dominasi Sikap Egois

Apabila dalam hubungan salah satu pihak secara konsisten menunjukkan sikap egois yakni selalu memprioritaskan keinginan, kebutuhan, dan kenyamanan pribadi tanpa mempertimbangkan keinginan juga kondisi emosional pasangannya, maka hubungan tersebut berisiko tinggi mengalami ketidakseimbangan emosional.

Kurangnya sikap saling memberi, tidak adanya upaya timbal balik dalam menunjukkan kasih sayang dan perhatian, serta minimnya penghargaan terhadap kontribusi pasangan bisa menimbulkan perasaan diabaikan, dilukai, bahkan memicu rasa marah atau kebencian yang terpendam.

5. Perasaan Iri atau Cemburu Terhadap Kesuksesan Pasangan

Saat seseorang merasa terganggu, cemburu, bahkan terancam oleh keberhasilan, pencapaian, atau perkembangan pribadi pasangannya, maka hal tersebut mencerminkan adanya pola pikir kompetitif dan tidak mendukung yang bertentangan dengan semangat tumbuh bersama.

Dalam hubungan sehat, keberhasilan pasangan seharusnya menjadi sumber kebanggaan bersama, bukan ancaman terhadap harga diri. Kurangnya rasa bangga dan dukungan terhadap pertumbuhan individu dalam hubungan dapat menjadi penghambat besar untuk membangun koneksi emosional yang saling memajukan.

Baca Juga: Pakar Bagikan 5 Cara Perempuan dalam Menghadapi Mertua Red Flag

(*)