Dukung Anak dengan Bipolar dan Skizofrenia Lewat Peran Keluarga

Tim Parapuan - Jumat, 16 Mei 2025
Acara press conference membahas tentang Bipolar dan Skizofrenia
Acara press conference membahas tentang Bipolar dan Skizofrenia Dok.Parapuan

Parapuan.co - Ketika seorang anak tiba-tiba menarik diri, sulit diajak bicara, atau suasana hatinya berubah drastis dalam waktu singkat, banyak orang tua yang masih bingung menghadapinya. Apakah itu hanya fase perkembangan atau tanda dari masalah yang lebih serius.

Dalam banyak kasus, gangguan kesehatan mental seperti Gangguan Bipolar (GB) dan Skizofrenia bisa saja menjadi akar dari perubahan perilaku ini. Di Indonesia, kesadaran terhadap gangguan kesehatan mental pada anak dan remaja masih sangat rendah.

Gangguan Bipolar dan Skizofrenia sering kali baru terdeteksi ketika gejalanya sudah berat, atau ketika anak mengalami krisis yang tidak bisa lagi diabaikan. GB dan Skizofrenia adalah dua kondisi mental yang berbeda, namun sama-sama serius.

Gangguan Bipolar ditandai dengan perubahan mood ekstrem antara depresi dan mania. Sedangkan Skizofrenia lebih berkaitan dengan gangguan persepsi realitas seperti halusinasi, delusi, dan disorganisasi pikiran atau bicara. Pada anak dan remaja, gejalanya bisa samar dan sering kali disalahartikan sebagai kenakalan atau fase pubertas.

Menurut Prof. Dr. dr. Tjhin Wiguna, SpKJ(K), Subsp A.R. (K), MIMH, Guru Besar Psikiatri Anak dan Remaja FKUI-RSCM, tantangan kesehatan mental seperti GB dan Skizofrenia kini juga memengaruhi anak dan remaja dengan tingkat yang mengkhawatirkan.

"Banyak kasus muncul di usia dini dan tidak terdiagnosis karena kurangnya kesadaran atau salah mengartikan gejala," ujarnya. 

Beberapa hambatan utama dalam penanganan adalah kurangnya literasi kesehatan mental, stigma negatif, keterbatasan akses ke layanan psikologis dan psikiatris anak, serta ketakutan keluarga akan efek samping pengobatan. Padahal, pengobatan dan terapi yang tepat bisa memperbaiki fungsi sosial, pendidikan, dan kualitas hidup anak.

Prof. Tjhin menekankan pentingnya kepatuhan berobat dalam proses pemulihan. “Kepatuhan terhadap pengobatan jangka panjang sangat berdampak terhadap prognosis pasien. Anak yang patuh cenderung mengalami remisi, mampu melanjutkan pendidikan, dan berfungsi normal di masyarakat,” jelasnya.

Namun di Indonesia, kepatuhan ini sulit dijaga karena berbagai faktor seperti stigma, ketakutan terhadap obat, hingga kurangnya pemahaman dari keluarga. “Tata laksana yang optimal masih menjadi tantangan besar. Tanpa dukungan keluarga, anak tidak akan mampu menjalani pengobatan dengan konsisten,” tambah Prof. Tjhin.

Baca Juga: Pentingnya Penerapan Mindful Parenting untuk Kesehatan Mental Anak

Dr. Khamelia Malik, SpKJ(K), Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa FKUI-RSCM, turut menyampaikan bahwa kondisi GB dan Skizofrenia pada anak dan remaja serupa dengan orang dewasa. “Gangguan ini menurunkan kualitas hidup karena perubahan suasana hati yang ekstrem, energi, dan aktivitas yang tidak stabil," ungkapnya. 

Bagi ODS (Orang dengan Skizofrenia), munculnya delusi atau halusinasi bisa sangat mengganggu fungsi sosial. Sayangnya, insidensi GB dan Skizofrenia pada usia muda belum banyak mendapat perhatian.

Kebanyakan intervensi baru dilakukan ketika pasien sudah memasuki usia dewasa dan gejalanya memburuk. Ini berisiko tinggi menurunkan kualitas hidup serta meningkatkan peluang komplikasi medis dan sosial.

“Pada GB, ketidakpatuhan berobat bisa meningkatkan risiko kekambuhan dan perawatan inap. Pada Skizofrenia, bisa memicu munculnya gejala psikotik kembali, bahkan meningkatkan risiko bunuh diri,” jelas Dr. Khamelia. Ia menekankan bahwa pentingnya kepatuhan tidak hanya untuk pengendalian gejala, tetapi juga untuk meningkatkan kualitas hidup jangka panjang.

Menariknya, pasien dengan kepatuhan tinggi menunjukkan kualitas hidup yang lebih baik. Mereka tetap bisa menjalankan aktivitas produktif, bersosialisasi, dan bahkan bekerja. Kuncinya adalah pengobatan yang konsisten dan dukungan emosional dari keluarga.

Terkait efek samping, Dr. Khamelia menyebut ini masih menjadi tantangan di lapangan. “Beberapa pasien mengeluhkan berat badan naik, gangguan tidur, atau masalah konsentrasi. Namun saat ini sudah ada obat-obatan inovatif yang mampu meminimalkan efek samping tersebut,” katanya.

Perempuan dalam hal ini ibu, pengasuh, guru, atau saudara perempuan memainkan peran kunci sebagai sistem pendukung utama (support system). Dukungan mereka bisa mempercepat pemulihan, mengurangi stigma, dan membantu anak menjalani pengobatan yang tepat.

Kolaborasi antara lembaga medis dan swasta juga memainkan peran penting. Hanadi Setiarto, Country Group Head Wellesta CPI mengatakan bahwa pihaknya bekerja sama dengan PDSKJI untuk meningkatkan kesadaran publik. “Tujuan kami adalah agar masyarakat paham dan bisa mengenali tanda-tanda gangguan jiwa, lalu mencari bantuan tanpa takut dinilai negatif,” jelasnya.

Dengan pengobatan yang tepat, dukungan keluarga yang konsisten, dan pemahaman masyarakat yang lebih baik, anak dan remaja dengan gangguan Bipolar atau Skizofrenia bisa tumbuh, belajar, dan berdaya seperti anak-anak lainnya. Pemulihan adalah mungkin, asal dijalani bersama.

Baca Juga: Dialami Jang Na Ra di Drakor My Happy Ending, Kenali Gejala Bipolar


(*)

Celine Night

Penulis:
Editor: Citra Narada Putri