Jika polisi yang diharapkan menegakkan keadilan malah diduga menjadi pelaku, ke mana lagi korban harus mencari perlindungan? Lebih mengkhawatirkan lagi, ada pihak ketiga yang berperan sebagai perantara dalam kasus ini.
Seseorang berinisial F membawa korban—seorang anak perempuan berusia enam tahun—ke Fajar dengan imbalan Rp3 juta. Fakta ini mengungkap sisi kelam perdagangan anak yang masih marak terjadi, bahkan melibatkan individu-individu yang seharusnya melindungi mereka.
Perlindungan Anak Masih Sebatas Wacana?
Indonesia memiliki berbagai regulasi terkait perlindungan anak, mulai dari Undang-Undang Perlindungan Anak hingga komitmen dalam berbagai konvensi internasional. Namun, kasus ini menimbulkan pertanyaan besar: Apakah semua aturan tersebut benar-benar diterapkan dengan serius?
Bahkan, akhir tahun 2024 lalu Kepolisian Republik Indonesia baru saja membentuk Direktorat Tindak Pidana Perempuan dan Anak dan Pidana Perdagangan Orang (Dir PPA PPO). Polri bahkan menggandeng Komnas Perempuan saat meresmikannya.
Pembentukan Direktorat PPA dan PPO tersebut ialah bagian dari pelaksanaan Peraturan Presiden No. 20 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden No. 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Selain itu, juga menjadi bentuk pelaksanaan Pengarusutamaan Gender (PUG) di Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2022. Pembentukan Direktorat PPA dan PPO di Polri ini diharapkan mewujudkan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang semakin terpadu dan komprehensif.
Hanya saja, penegakan hukum terhadap pelaku pelecehan seksual terhadap anak sering kali berjalan lambat dan minim efek jera. Tak jarang, kasus seperti ini berakhir dengan hukuman ringan, atau bahkan menguap begitu saja.
Bagaimana publik bisa percaya bahwa negara benar-benar melindungi anak-anak, jika kejahatan yang terjadi pun baru terungkap setelah ada tekanan dari pihak asing?