Dr.  Firman Kurniawan S.

Pemerhati budaya dan komunikasi digital, pendiri LITEROS.org, dan penulis buku Digital Dilemma

Perempuan dan Perannya Menjamin Kualitas dan Kenyamanan Jagat Digital

Dr. Firman Kurniawan S. Minggu, 22 Januari 2023
Perempuan punya peran dalam menciptakan kenyamanan dan ruang aman di dunia digital.
Perempuan punya peran dalam menciptakan kenyamanan dan ruang aman di dunia digital. Ponomariova_Maria

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.

Parapuan.co - Bu Risma, adalah perempuan yang punya kekuatan. Tegas, teguh dalam mewujudkan tujuannya, tak peduli omongan orang soal gaya kepemimpinannya.

Dia juga punya nurani yang masih terasah. Yang kerap merasa resah, akibat peristiwa-peristiwa sosial, yang mengganggu naluri perempuannya.

Kekuatan Bu Risma terwujud lewat jabatan yang disandangnya, Menteri Sosial. Ini dijalaninya, setelah 2 periode kepemimpinannya sebagai Walikota Surabaya berakhir, sejak Desember 2020.

Sedangkan nuraninya terganggu, paling tidak terlihat dari tanggapannya terhadap unggahan-unggahan media sosial yang beberapa hari belakangan ramai diperbincangkan.

Unggahan media sosial yang mengusik Bu Risma adalah pertunjukan mandi lumpur. Juga aktivitas berendam di air dingin selama berjam-jam.

Menteri Sosial Tri Rismaharini
Menteri Sosial Tri Rismaharini

Unggahan atraksi ini kerap beredar di TikTok. Namun akibat ramainya perbincangan khalayak, juga teralihmediakan ke berbagai platform lain.

Tentu saja mandi lumpur atau berendam di air dingin berjam-jam ini tak akan menghebohkan jika dilakukan untuk sekedar memperoleh kesenangan.

Pelaku hanya punya tujuan bersenang-senang dari aktivitasnya.

Namun yang terlihat justru para pelaku nampak kedingingan, kulit kisut, kepayahan, bahkan sengsara.

Seluruhnya menerbitkan rasa iba khalayak. Terlebih para pelaku unggahan ini adalah, orang-orang tua yang tergolong renta, anak-anak, maupun penyandang disabilitas.

Kaum rentan. Rentan diperalat pihak tertentu, untuk mencapai tujuannya.

Baca Juga: Mereka yang Menciptakan dan Diuntungkan oleh Rasa Insecure Perempuan

Tendensi memperalat kelompok rentan ini nyata. Ini dikaitkan adanya fasilitas TikTok, yang memungkinkan khalayak memberikan hadiah atau point.

Dalam kejadiannya, respons berupa hadiah atau point tak jarang diberikan khalayak. Bisa jadi karena iba yang timbul. Setidaknya rasa bersalah, sudah menonton.

Relasi iba yang difasilitasi platform, yang memungkinkan khalayak memberikan point ini, seluruhnya dimanfaatkan kreator konten.

Dilakukan dengan mengundang “saweran point”, yang hasilnya ditukar jadi uang.

Bagi hasil saweran point terjadi antara pelaku unggahan dengan kreator unggahan.

Ini nampaknya jadi kelanjutan hubungan miring “saling menguntungkan” itu.

Bu Risma menyebutnya sebagai perilaku mengemis online. Dengan kelompok rentan yang dimanfaatkan untuk menangguk hasil. Karenanya harus dihentikan

Terhadap unggahan yang buruk, tak jarang muncul pertanyaan: Mengapa unggahan yang dinilai buruk, justru banyak penontonnya?

Mengapa khalayak bersedia menikmati konten tak berkualitas?

Adalah konsep attention economic yang dapat menerangkan hal ini.

Wigmore, 2019, merupakan salah seorang ilmuwan yang menggunakan konsep ini untuk menjelaskan fenomena yang terjadi di tengah keberlimpahan informasi.

Penjelasannya dimuat pada artikelnya yang berjudul “Attention Economic”.

Wigmore menjelaskan, keberlimpahan informasi menyebabkan langkanya perhatian yang dapat diberikan orang.

Baca Juga: Sering Viral, Ini Awal Cerita The Laughing Penguin Bikin Konten Receh

Kapasitas perhatian manusia terbatas. Untuk dapat memberikan perhatian, diperlukan adanya fokus mental tertentu.

Perhatian merupakan kemampuan kolektif manusia, untuk tenggelam pada berbagai topik di sekitar tempat hidupnya.

Keterbatasan kemampuan itulah yang memicu persaingan antar material informasi maupun peristiwa, untuk memperoleh alokasi perhatian.

Istilah attention economic pertama kali dikemukakan oleh Peraih Nobel Bidang Ekonomi, tahun 1978, Herbert Alexander Simon.

Ungkapannya senada dengan Wigmore. Perhatian merupakan hal yang langka di tengah berlimpahnya informasi.

Bahwa manusia mampu memberi perhatian pada berbagai hal secara multitasking, adalah mitos belaka.

Akibat keterbatasan itu, di tengah berlimpahnya informasi, justru tercipta kemiskinan perhatian.

Sedangkan "perhatian" menurut The American Psychological Asociation, diwujudkan sebagai cinta, pengakuan, kepatuhan, dan bantuan.

Penjelasan penerapan attention economic dalam praktik hidup sehari-hari, dapat dimulai lewat ilmu ekonomi.

Ilmu ini tak lain menjelaskan tentang alokasi sumber daya terbatas yang dimiliki manusia.

Karena keterbatasan itu, dilakukan pilihan pengalokasian pada hal-hal yang paling besar memberi keuntungan.

Manusia mengoptimalkan pilihannya untuk memperoleh keuntungan terbesar.

Relevansinya, ketika sumber daya yang dimaksud pada attention economic adalah perhatian, kepemilikannya terbatas.

Manusia harus mengoptimalkan keterbatasan perhatian di tengah berlimpahnya informasi.

Pada keadaan ini, alokasi bakal jatuh pada sesuatu yang bersifat menimbulkan rasa penasaran, curiosity.

Kaitan antara attention economic dengan curiosity dikemukakan lewat berbagai penelitian.

Di antaranya lewat penelitian Zachary Wojtowicz dan George Loewenstein, 2020.

Pada penelitian yang berjudul, “Curiosity and the Economics of Attention", keduanya mengemukakan: Keingintahuan mendorong pengalokasian perhatian tanpa menghabiskan perhatian itu sendiri.

Juga, keadaan untuk mengotimalkan kesenangan, mendorong pengambilan keputusan dengan tambahan penilaian.

Pengalokasian perhatian pada informasi yang menimbulkan rasa penarasan ini, tak lain merupakan perilaku alamiah manusia.

Perilaku merasa rugi atau enggan melewatkan peristiwa-peristiwa yang belum terjawab dengan jelas.

Baca Juga: Strategi Pemasaran Fear of Missing Out (FOMO) Meningkatkan Penjualan E-commerce

Ketika kejelasan itu akhirnya diraih setelah memberi perhatian, rasa senang lah yang didapatkan. Manusia mengejar kesenangan.

Tindakan ekonomis tercapai, manakala manusia meletakkan perhatiannya pada hal-hal yang menimbulkan rasa penasaran.

Dalam kaitan dengan mandi lumpur ini maupun ungahan-unggahan lainnya, rasa penasaran tersebar pada spektrum yang berseberangan.

Jika diandaikan unggahan dapat diletakkan pada sebuah garis: titik tengah garis bernilai nol, sebelah kanannya positif, dan sebelah kirinya negatif.

Nilai positif dan negatif pada garis, dapat diterjemahkan sebagai kualitas unggahan.

Maka makin ke ujung kanan, makin baik kualitas unggahan. Sebaliknya makin ke ujung kiri, makin buruk kualitasnya.

Namun demikian, baik unggahan yang ada di ujung kanan maupun ujung kiri, kedua ekstem berlawanan ini menimbulkan penasaran. Ini karena peristiwanya jarang terjadi.

Perhatian secara ekonomis akan dijatuhkan pada unggahan dalam katagori Baik Sekali atau Buruk Sekali. Seluruhnya semata, didorong rasa penarasan.

Rasa penasaran terhadap unggahan media sosial, terjadi akibat kualitasnya yang Baik Sekali atau Buruk Sekali. Ini menciptakan ramainya perbincangan.

Sesuai dengan hukum kerumunan: “Kerumunan menciptakan kerumunan yang lebih besar. Makin besar ukuran kerumunannya, makin besar penasarannya”.

Baca Juga: Membongkar Mitos yang Membalut Kebenaran dan Melenakan Perempuan

Kerumunan itu sendiri mengundang rasa penasaran.

Karenanya, ketika semua mata, semua media sosial, dan semua media konvensional terarah membicarakan mandi lumpur dan berendam berjam-jam yang dilakukan kelompok rentan, timbul rasa penasaran.

Muncul keriuhan: Apa yang sedang terjadi? Apa yang bisa diketahui? Apa yang bisa diceritakan, sebagaimana orang lain bercerita?

Pusarannya menggunung. Makin banyak orang yang memberi perhatian.

Ketika ini dikonversi sebagai nilai ekonomi dikumpulkan sebagai saweran point, panen besar yang terjadi.

Maka, yang dilakukan Bu Risma adalah memangkas perhatian yang kian menggunung. Taktik yang dilakukannya 2 macam.

Taktik pertama Bu Risma: Lewat operasi bahasa.

Dengan memberi sebutan atraksi mandi lumpur maupun berendam berjam-jam diikuti saweran, adalah mengemis online.

Tak semua pelaku unggahan nyaman disebut sebagai pengemis.

Mengemis adalah strata rendah dalam pencarian pendapatan. Walaupun mengemisnya dilakukan online, tetap saja statusnya tak bakal naik.

Taktik kedua: Dengan pendekatan formal kekuasaan.

Bu Risma sebagai Menteri Sosial menerbitkan surat edaran yang ditujukan kepada kepala daerah.

Isinya, mengajak para kepala daerah mengawasi praktik mengemis online di wilayahnya.

Terhadap adanya praktik mengemis online di suatu wilayah, dilaporkan kepala daerah kepada polisi.

Terdapat hukum yang melarang tindakan macam ini. Yang jelas, eksploitasi manusia atas manusia lain bertentangan dengan etika maupun hukum.

Baca Juga: Berbahaya! Jangan Tiru 3 Tips Kecantikan yang Viral di TikTok Ini

Apa yang dapat dilakukan perempuan tanpa kuasa seperti Bu Risma?

Jawabannya: Banyak.

Perempuan dapat memutus rantai attention economic yang didasarkan unggahan berkualitas buruk.

Perempuan menahan diri tidak memberi sambutan pada unggahan macam mandi lumpur maupun unggahan-unggahan tak berkualitas lainnya.

Relasi yang menghasilkan perhatian pada media sosial, berpijak pada unggahan yang kencang diperbincangkan.

Makin kencang perbincangannya, makin menggunung perhatian yang diberikan.

Mendiamkan, tak membahas, tak menggubris unggahan yang buruk, akan memupuskan gunungan perhatian yang terbentuk.

Hukum pasar yang berlaku, “ada penjual ada pembeli”, dapat dipotong relasinya. Caranya, perempuan tak jadi pembeli.

Ini dilakukan dengan tak memberikan perhatian pada unggahan yang tak berkualitas. Penjualnya akan surut, dagangannya tak laku.

Hal lain yang dapat dilakukan: Mendesak pengembang platform.

Komunitas perempuan yang peduli pada kenyamanan jagat digital, dapat mendesak platform mencegah hadirnya unggahan-unggahan yang tak etis, mengandalkan kontroversial, sensasi maupun narasi miring.

Desakan yang dilakukan komunitas dengan suara prihatin, bakal diperhatikan platform.

Ini tak lain akibat eksistensi platform terjadi ketika para pemilik akun tetap bersedia menggunakannya.

Banyak peristiwa gulung tikarnya platform, lantaran penggunanya tak lagi bersedia menggunakan.

Komunitas perempuan bersedia menggunakan platform media sosial, jika unggahan yang beredar baik kualitasnya. Upaya yang tak terlalu sulit, bukan? (*)